Thursday, July 4, 2013

Militer Mesir Kudeta Presiden Mursi: Cacati Proses Demokratisasi





Ketakutan dunia internasional mengenai kabar akan terjadinya kudeta dari pihak Militer Mesir terhadap Presiden terpilih Muhammad Mursi ternyata menjadi kenyataan. Militer Mesir pada Rabu, 3 Juli 2013 melakukan kudeta mengusir Presiden Mursi dari kursi kepresidenan dan menahannya beserta para pendukungnya dari Ikhwanul Muslimin. Setidaknya 300 pimpinan dan anggota Ikhwanul Muslimin ditahan pada Rabu dini hari (AFP). Selain itu, mereka juga membatalkan konstitusi Mesir dan mengangkat ketua Mahkamah Konstitusi Mesir Adly Mansour menjadi pimpinan sementara Mesir selama proses transisi pemilu Presiden kembali digelar.

Muhamad Mursi sebelumnya adalah Presiden terpilih pasca jatuhnya rezim Hosni Mubarak. Dia adalah calon yang diusung Ikhwanul Muslimin. Mursi meraih 13, 2 juta suara dari 26 juta pemilih. Sedangkan rivalnya Ahmed Shafiq meraih 12,3 juta suara. Dengan demikian, Mursi meraih suara mayoritas 51% dan menjadi Presiden berikutnya pasca Husni Mubarak.


Namun sepertinya terpilihnya Mursi tidak semerta-merta menenangkan situasi politik di negara ini. Transisi demokrasi berjalan alot dan keberpihakan politik menjadi kubu-kubu yang saling berlawanan. Mursi sepertinya gagal merangkul semua lapisan masyarakat Mesir khususnya loyalis Mubarak. Hal ini menjadikan oposisi Mursi kian santer. Sebaliknya, bagaimanapun Mursi sebagai Presiden terpilih dengan suara mayoritas tentu memiliki mayoritas rakyat yang mendukungnya.  Pertentangan dua kubu yang pro dan kontra terhadap kepemimpinan Mursi ini semakin lama semakin memanas dan menimbulkan konflik tak berkesudahan dibeberapa tempat.



Hingga pada akhirnya Militer Mesir merasa perlu mengambil sikap dengan menggulingkan kursi kepresidenan Mursi. Militer menganggap Mursi telah gagal menyatukan serta mendamaikan rakyat Mesir. Dan ternyata langkah kudeta merupakan pilihan yang diambil oleh Militer Mesir pada Rabu dini hari tersebut. Alibi Militer Mesir dalam melakukan kudeta ini adalah agar pemilu baru dapat segera dilaksanakan pasca pemunduran paksa Presiden Mursi ini. Dengan demikian, persatuan dan demokrasi di Mesir dapat segera terwujud.

Tentu saja, tindakan ini menimbulkan konflik yang lebih hebat. Bagaimanapun Presiden Mursi merupakan Presiden terpilih dengan suara terbanyak, tidak sedikit massa pendukung Mursi, khususnya dari kubu Ikhwanul Muslimin. Para pendukung merapatkan barisan dan berkumpul di Universitas Kairo di Giza. Mereka duduk di jalanan tidak jauh dari pusat penentang Mursi dan meneriakan, "Katakan tidak pada penguasa Militer!" (BBC). 



Meski aksi ini berlangsung damai, Militer Mesir terlihat memamerkan kekuatan dengan melakukan pawai kendaraan militer ke arah Universitas Kairo di Giza. Kawat berduri dipasang di beberapa sudut jalan. Helikopter juga berputar-putar di udara. Para unjuk rasa pro Mursi terkepung Militer Mesir dalam menjalankan aksi damainya.

Tentu saja tindakan Militer Mesir ini sangat bertentangan dengan pernyataannya yang seolah pro demokrasi, "Militer Mesir tidak akan terlibat dalam politik atau administrasi negara. Militer Mesir akan sejalan dengan nilai-nilai demokrasi." Dilansir ahram.org.eg, Senin (1/7).

Konflik yang terjadi antar kubu dalam kepemimpinan Mursi disinyalir karena ketidakpuasan para pemimpin oposisi terhadap struktur kekuasaan di bawah Mursi. Meski kondisi politik saat ini merupakan hasil dari proses demokrasi "pemilu", namun tampaknya sejumlah politisi Mesir yang pernah memiliki posisi khusus di rezim sebelumnya, tidak dapat menerima hal tesebut. Selain itu, para politisi yang kalah dan tersingkir dalam pemilu pasca jatuhnya rezim Mubarak juga menjadi salah satu penentang utama pemerintahan Mursi.


Seharusnya Militer Mesir bersikap netral. Pertentangan kubu-kubu baik yang pro maupun kontra terhadap pemerintahan Mursi tidak sampai melegalkan Militer Mesir melakukan kudeta. Bagaimanapun kudeta adalah suatu tindakan mencacati proses demokrasi dan sangat mengkhawatirkan. 


Mengapa Kudeta Mencacati Demokrasi?

Kudeta adalah sebuah bentuk pengkhianatan terhadap proses demokrasi yang sedang berlangsung. Kudeta juga tidak akan menyelesaikan masalah, sebaliknya hanya akan memicu masalah baru dalam situasi politik suatu negara.

Meski Militer Mesir menjadikan pemilu baru sebagai alasan untuk melakukan kudeta terhadap Mursi, namun penggulingan sepihak ini tidak dapat dibenarkan. Kudeta bukan jalan terbaik untuk menyelesaikan persoalan di negara demokrasi seperti Mesir. Sebaliknya kudeta justru mencacati nilai-nilai demokrasi. Yingluck Shinawatra sebagai Perdana Menteri Thailand sebuah negara yang kerap dilanda konflik dan kudeta, menyatakan bahwa, "sesungguhnya begitu kudeta terjadi di sebuah negara, pada saat itulah negara tersebut tersesat dalam demokrasi".

Dalam kasus Mesir, kudeta itu berkaitan erat dengan keamanan dan kestabilan di Timur Tengah. Khususnya keamanan Palestina-Israel. Apalagi Mesir memiliki peran sentral dalam proses perdamaian Palestina-Israel. Jika kondisi politik di Mesir terus bergejolak, perang saudara dipastikan akan terjadi. Dampaknya, situasi kawasan akan ikut bergejolak.

Dari banyak pengalaman di berbagai negara, jatuhnya kekuasaan negara kepada militer melalui kudeta selalu akan berakhir dengan munculnya pemerintahan yang tidak memiliki legitimasi. Kasus di Mesir belum lama ini sudah sangat jelas menunjukkan hal itu. 

Setelah Mursi terguling dan ada pemilu baru, akankah Presiden baru mengalami nasib serupa? 

Bukan tidak mungkin, karena kudeta hanya akan melahirkan kudeta baru. 

No comments:

Post a Comment