Thursday, March 7, 2013

PENGARUH MODERNISASI TERHADAP KEHIDUPAN SOSIAL DAN PEREKONOMIAN MASYARAKAT BHUTAN DI ABAD 21


            Pada abad 21 para teoritis sosial mulai disibukkan dengan persoalan apakah masyarakat abad 21 telah mengalami perubahan-perubahan dramatis atau tidak. Apabila dikatakan telah mengalami perubahan, maka perubahan seperti apakah yang dilalui masyarakat abad 21 ini. Salah satu hal yang sangat mendasar dan mudah untuk dicermati adalah ketika terjadinya perubahan yang dialami masyarakat abad 21 akibat berkembang pesatnya teknologi dan komunikasi yang melahirkan masyarakat modern. Lahirnya masyarakat modern ini sesungguhnya merupakan objek perhatian pokok dalam sosiologi, sehingga berbagai teori mulai dari klasik sampai kontemporer berupaya untuk menjelaskan perubahan pada pola masyarakat ini.
            Dalam teori sosiologi klasik masyarakat modern dijelaskan melalui analisis komparasi dengan masyarakat pra modern, atau sering disebut dengan masyarakat tradisionil. Marx melihat masyarakat modern dari perspektif ekonomi kapitalisnya, Weber melihat adanya perubahan rasionaliasi menjadi rasionalisasi formal, dan Durkheim melihat adanya peningkatan solidaritas organik dan menurunnya kesadaran kolektif. Namun selain dari pandangan masing-masing mengenai masyarakat modern tersebut, ketiga ahli ini ternyata mengkhawatirkan adanya arah dan sisi negatif oleh masyarakat modern. Marx melihat pada alienasi dan eksploitasi yang dialami kalangan buruh, Weber mengkhawatirkan penjara besi rasionalitas (iron cage rasionality), sementara Durkheim mengkhwatirkan anomi yang dialami masyarakat karena begitu cepatnya perubahan yang tidak selalu bisa diikuti oleh semua orang. Tetapi sedikit berbeda dengan ketiga sosiolog klasik yang mengkhawatirkan sisi masyarakat modern, George Simmel melalui bukunya Philosophy of Money, ia menolak kekhawatiran atas pengaruh lahirnya masyarakat modern. Justru Ia berpendapat, bahwa lahirnya masyarakat modern dapat melahirkan keuntungan secara materi (Ritzer 2003, 550).

 “Simmel meneliti modernitas terutama dari dua sisi utama yang saling berhubungan, yaitu kota dan ekonomi uang. Kota adalah tempat modernitas dipusatkan dan diintensifkan, sedangkan ekonomi uang menyebabkan penyebaran modernitas dan perluasannya.” (Frisby 1992, 69)
Sehingga melalui pemikirannya Simmel memandang bahwa masyarakat modern kota berjalan lurus dengan ekonomi uang, dan kota menjadi objek pokoknya karena disinilah terjadi intensitas tertinggi dari gejala modernitas.
Namun pada tahun 1920, keempat teoritis masyarakat modern yang telah disebut di atas telah meninggal dunia, sedangkan kehidupan masyarakat terus berjalan dan berubah. Tentu saja kehidupan masyarakat zaman 1920an sangat berbeda dengan kehidupan zaman abad 21. Sehingga memerlukan pemikiran dari teoritisi sosial zaman sekarang yang mampu menjelaskan pola perubahan sosial dan ekonomi pada kehidupan masyarakat modern di abad 21, yang disebut dengan modernisasi kontemporer.
Dalam melihat adanya pola perubahan pada kehidupan sosial dan perekonomian suatu masyarakat modern di abad 21, penulis mengambil contoh kasus pada apa yang dialami oleh masyarakat Bhutan akibat dari lajunya modernisasi dan arus kapitalis di abad 21. Dalam materi pembahasan mengenai Bhutan, penulis mengambil periode abad 21 yaitu setelah tahun 2000an pada analisa perubahan sosial yang terjadi Bhutan. Mengapa Bhutan? Karena Bhutan adalah salah satu negara yang bisa dikatakan unik dengan simbol-simbol tradisional yang melekat padanya. Bhutan adalah sebuah negara kecil di Asia Selatan yang berbentuk Kerajaan dan dikenal dengan Negeri Naga Guntur. Wilayahnya terhimpit antara India dan Republik Rakyat Cina. Pemerintahan yang dijalankan dengan kekuasaan monarki absolut berakhir ketika konstitusi baru dan pemilihan perdana menteri dilaksanakan. Raja Jigme Singye Wangchuck yang memimpin sejak tahun 1972 mengumumkan menggelar pemilu tahun 2008, sekaligus turun tahta. Bhutan merupakan kerajaan merdeka terakhir di kawasan Himalaya yang dengan suka rela mengasingkan diri dari dunia luar. Bertahan dengan menjalankan kehidupan tradisionil berdasarkan nilai-nilai ajaran agama Budha yang terus terpelihara. Namun hal itu terjadi sebelum arus globalisasi dan kapitalis di abad 21 menggerus ciri, gaya, tradisi, budaya dan moral masyarakat negara itu. (Heertz, 2004: 13)
 Terjadinya perubahan pada pola perubahan sosial dan ekonomi pada kehidupan suatu kelompok masyarakat pasca masuknya modernisasi di abad 21 lantas menimbulkan pertanyaan sebagai berikut, “apa hubungan perubahan ekonomi dan sosial dalam teori modernisasi? Lalu kemudian bagaimanakah pengaruh modernisasi terhadap kehidupan sosial dan perekonomian masyarakat negara Bhutan di abad 21?”  

            
TEORI MODERNISASI
 
            Berangkat dari pertanyaan tersebut tentu perlu diketahui dahulu dengan apa yang dimaksud dengan modernisasi, sebelum penulis membahas hubungan perubahan ekonomi dan sosial dalam teori modernisasi dan bagaimana pengaruhnya modernisasi terhadap kehidupan sosial dan perekonomian masyarakat negara Bhutan di abad 21. 
           Anthony Giddens seorang teoritisi sosial Inggris masa kini mendefinisikan modernitas kontemporer dilihat dari kemajuan pada empat institusi mendasar. Pertama adalah kapitalisme yang ditandai oleh produksi komoditi, pemilikan pribadi atas modal, tenaga kerja tanpa property (propertyless), dan sistem kelas. Kedua adalah industrialisme yang melibatkan penggunaan sumber daya alam dan mesin untuk memproduksi barang. Industrialisme tidak terbatas hanya pada tempat bekerja saja melainkan juga pada sederetan lingkungan lain seperti transportasi, komunikasi bahkan perabotan rumah tangga. Ketiga adalah kemampuan mengawasi atas aktivitas warga negara individual sehingga tidak semata-mata pengawasan hanya dalam bidang politik. Keempat adalah kekuatan militer atau pengendalian atas alat-alat kekerasan termasuk industrialisasi peralatan perang. Sebagai tambahan, Giddens dalam analisisnya tentang modernitas, setidaknya di tingkat makro, Giddens memusatkan analisnya pada negara-bangsa (nation-state) (Ritzer2003, 552)
            Giddens melukiskan kehidupan modern sebagai sebuah “Juggernaut” (panser-raksasa). Istilah ini secara khusus melukiskan tahapan kemajuan modernitas, yaitu modernitas radikal, tinggi atau akhir. Secara spesifik, Giddens mengumpamakan kehidupan modern sebagai sebuah panser raksasa adalah sebagai berikut,
“Kehidupan kolektif modern ibarat panser raksasa yang tengah melaju hingga taraf tertentu bisa dikemudikan, tetapi juga terancam akan lepas kendali hingga menyebabkan dirinya hancur lebur. Panser raksasa ini akan menghancurkan orang yang menentangnya dan meski kadang-kadang menempuh jalur yang teratur, namun ia juga sewaktu-waktu dapat berbelok kearah yang tak terbayangkan sebelumnya. Perjalanannya bukannya sama sekali tak menyenangkan atau tak bermanfaat: adakalanya memang menyenangkan dan berubah sesuai dengan yang diharapkan. Tetapi, sepanjang institusi modernitas ini terus berfungsi, kita tidak akan pernah mampu mengendalikan sepenuhnya baik arah maupun kecepatan perjalanannya. Kitapun tidak akan pernah merasa aman sama sekali karena kawasan yang dijelajahinya penuh dengan bahaya.” (Giddens, 1990: 139)
Dalam hal ini, modernitas menurut Giddens adalah sebuah dunia yang tak terkendali. Meski modernitas ibarat pedang bermata dua, yakni dapat membawa perkembangan positif maupun perkembangan negatif, tetap saja Giddens beranggapan bahwa modernitas adalah sebuah bayangan ancaman tentang ketidakberartian pribadi. Yaitu segala sesuatunya karena modernitas, dapat tercerabut dari hakikat kehidupan aslinya, atau moral aslinya. Namun ketika suatu masyarakat dapat mengembalikan kehidupan aslinya, moral aslinya yang tercerabut tersebut kembali ke sentral, maka kehidupan tersebut dapat dikatakan “re-moralisasi” dalam masyarakat era modern. 


HUBUNGAN PERUBAHAN SOSIAL DAN EKONOMI DALAM MODERNISASI

            Berbicara soal moral pada masyarakat era modern seperti yang telah dibahas di atas, maka tidak akan luput dari perubahan sosial di masyarakat akibat modernisasi. Masalah moral mapun nilai-nilai luhur suatu negara, seharusnya merupakan suatu kekuatan yang cukup penting dalam memperkokoh persatuan dan kesatuan suatu negara. Namun bagaimana jadinya apabila kehadiran modernisasi yang diikuti dengan lajunya globalisasi maupun kapitalis ke suatu negara yang belum siap menerima? Mungkin kita dapat melihat contoh sukses nyata pada negara-negara maju seperti negara-negara di Eropa dan Amerika, bahwa dengan masuknya modernisasi yang diikuti dengan pesatnya ilmu pengetahuan teknologi dan industrialisasi berbanding lurus dengan meningkatnya taraf perekonomian dan sosial mereka. Namun apakah hal tersebut sama halnya apabila modernisasi masuk ke dalam negara-negara yang notabene masih merupakan negara berkembang yang sedang dalam tahap pembangunan? Tentu perlu ditilik ulang mengenai konteks tersebut. Apakah modernisasi tersebut telah sesuai dengan nilai-nilai atau moral-moral suatu negara berkembang tersebut? Atau malah membawa sesuatu bencana yang mengkhawatirkan. Seperti yang disebut oleh toritisi sosial klasik Durkheim sebagai anomi.
            Istilah Anomi pertama kalinya dikemukan oleh Durkheim dalam teori sosialnya sebagai efek dari kebebasan besar (individualisme) dan produktifitas yang tinggi (ritme rutinitas yang tinggi) di kehidupan masyarakat modern, namun hal ini justru berbanding terbalik dengan melemahnya kesadaran kolektif sehingga mengkondisikan lemahnya moralitas bersama, seseorang akan cenderung merasakan dirinya tak bermakna dalam kehidupan modern, tanpa arah dan apatis.  Dengan kata lain, jati diri seseorang secara positif bisa saja menjadi lebih kuat dan tegar, namun berbanding terbalik seakan-akan individu-individu dalam masayarakat modern tersebut dapat saja kehilangan indentitas dirinya yang sebenarnya. Namun ketika kita mencoba untuk membahas bagaimana modernisasi dalam perannya membangun perekonomian di suatu negara, tentu saja kita tidak dapat lepas dari teori pembangunan. Salah satu teori yang mengacu pada modernisasi adalah teori pembangunan Rostow. Hal ini karena menurut teori pembangunan Walt Rostow dalam bukunya The Stages of Economic Growth bahwa negara berkembang dalam tujuan untuk mematangkan pembangunan di negara mereka terutama di bidang ekonomi makro, negara berkembang harus melalui 5 tahapan. Yaitu: Satu, tahapan masyarakat tradisional. Dua, penyusunan kerangka dasar tahapan masyarakat pralepas landas menuju pertumbuhan. Tiga, tahapan lepas landas. Empat, tahapan menuju kematangan ekonomi. Lima, tahapan masyarakat konsumsi masal tingkat tinggi. (Todaro, 2006)
Secara teori, apabila suatu negara berkembang melakukan dengan baik tahapan demi tahapan dari 5 tahapan pembangunan Rostow di atas, maka masyarakat tradisional yang dianggap sebagai faktor penghambat pembangunan akan tersingkir, lalu produktifitas pertanian akan meningkat, terciptanya infrastruktur yang lebih efektif. Selain itu tahapan tersebut juga akan turut  mengembangkan mentalitas masyarakat baru, maupun kelas baru, yaitu lahirnya para wirausahawan. Teknologi modern juga akan cepat menyebar hingga ke lini perekonomian menciptakan daya konsumtif di masyarakat modern. Sehingga dengan demikian investasi bersih dan tabungan pendapatan nasional suatu negara juga akan meningkat.  (Hettne, 2001)
Dari penjelasan-penjelasan di atas telah dapat dilihat bagaimana hubungan perubahan ekonomi dan sosial dalam modernisasi pada masyarakat modern. Yaitu terdapat hubungan yang berbanding terbalik antara perubahan yang bersifat ekonomi di dalam modernisasi dengan perubahan sosial di dalam modernisasi apabila dilihat dalam perspektif para teoritisi yang penulis angkat di dalam paper ini. Sunguh ironi ketika melihat kemajuan ekonomi yang dibawa modernisasi di negara berkembang ternyata tidak seiring sejalan dengan kualitas sosial yang lebih baik (Durkheim 1993).


KEHIDUPAN SOSIAL DAN PEREKONOMIAN MASYARAKAT NEGARA BHUTAN DI ABAD 21

            Seperti yang telah penulis sampaikan bahwa modernisasi dapat saja seperti pisau bermata dua, yaitu dapat membawa dampak positif terutama dalam bidang perekonomian, namun ternyata dapat berbanding terbalik berdampak negatif bagi perkembangan sosial masyarakat di suatu negara berkembang akibat anomi. Maka demikian halnya dengan Bhutan di abad 21 seperti sekarang ini. Bhutan, yang memiliki nama lokal Druk Yul yang berarti "Tanah Naga Guntur" baru mulai membuka diri terhadap orang luar pada 1907-an. Yaitu pada saat Ugyen Wangchuck dipilih dengan suara bulat sebagai raja pusaka negeri ini oleh majelis rahib Buddha, pejabat pemerintahan, dan kepala keluarga penting yang menonjol. Pemerintah Britania menyetujui dengan cepat monarki baru ini, dan pada 1910 Bhutan menandatangani perjanjian yang membuat Britania Raya ‘memandu’ urusan luar negeri Bhutan. Namun pemerintahan yang dijalankan dengan kekuasaan monarki absolut ini berakhir ketika konstitusi baru dan pemilihan perdana menteri mulai dilaksanakan. Raja Jigme Singye Wangchuck yang memimpin sejak tahun 1972 mengumumkan menggelar pemilu tahun 2008, sekaligus turun tahta, namun pada tahun 2006 sang raja mengundurkan diri dan digantikan oleh puteranya. (BBC NEWS, 2011)
Sebelumnya Bhutan merupakan suatu negara kerajaan yang secara berabad-abad secara suka rela mengasingkan diri dari dunia luar dan bertindak secara tradisionil. Hal ini karena Bhutan memiliki suatu kebudayaan kuno yang unik yaitu Bhutan Buddhis yang menjadi pemandangan yang menakjubkan, dan membuatnya menjadi daya tarik wisata. Raja Jigme Singye Wangchuck juga termasuk salah seorang raja yang sangat memperhatikan kelestarian kebudayaannya. Dia selalu berpakaian nasional wajib, yaitu kain yang membungkus sekitar lutut-panjang "gho" untuk pria dan gaun panjang pergelangan kaki yang dikenal sebagai "kira" bagi perempuan. Akibat perilaku konsisten dengan kerasnya upaya melestarikan kehidupan tradisionil dan warisan budaya nenek moyang yang sarat dengan Budhisme, Bhutan mampu bertahan berabad-abad mengikuti cara dan gayanya sendiri. Masyarakat Bhutan di abad 19 sangat menjunjung tinggi nilai-nilai ajaran Budha dan tradisi-tradisi lama mereka. Dan dengan penduduk sekitar 600.000 jiwa, Bhutan merupakan salah satu negara miskin di dunia dengan GNP per kapita hanya $ 550. Namun apabila dikatakan miskin dan menderita sebenarnya tidak juga tepat dikatakan demikian, karena ternyata 85% dari penduduknya tetap giat melakukan pertanian subsisten. Dan terlebih lagi transaksi barter merupakan hal yang biasa dilakukan oleh masyarakat Bhutan di abad 19. Sehingga dalam hal ini, meski dikategorikan negara miskin, sejatinya masyarakat Bhutan merasa tidak kekurangan sesuatu apapun, dimana kebutuhan sandang, pangan dan papan mereka terpenuhi. Selain itu pula Monarki Bhutan juga menjadi sorotan masyarakat internasional akan promosi filosofinya yang mengagumkan yaitu penerapan "Happiness Nasional Bruto" (GNH), yang berusaha untuk menekankan bahwa pancapaian keseimbangan antara spiritual dan material itu jauh lebih penting daripada GNP. Pada saat itu, menteri perencanaan pembangunan  Bhutan C. Dorji pada tahun 1998 juga mengatakan bahwa,
 “kami tidak akan terburu-buru memeluk segala sesuatu yang disebut dengan modern. Kami akan belajar dari pengalaman mereka yang lebih dahulu melaksanakan pembangunan, dan kemudian menjalankan modernisasi dengan hati-hati sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan kami. Kami berusaha untuk tetap melestarikan sistem nilai, tradisi dan budaya kami yang sangat berharga.” (Heertz, 1998).
            Namun yang kemudian terjadi pada abad 21, dimana modernisasi sanggup menjangkau jauh ke pedalaman, hingga ke Bhutan sekalipun. Dengan sangat cepat sisi originalitas sistem tradisionil yang mereka bangga-banggakan tersebut mulai memudar. Hal ini terlihat ketika tentakel-tentakel kapitalisme global mulai menyeruak masuk ke dalam lini kehidupan masyarakat tradisional Bhutan. Hal yang terlihat jelas adalah sekarang ribuan antenna parabole mewarnai panorama Bhutan. Antena-antena tersebut baru mulai bermunculan di tahun 2000an terakhir-terakhir ini. Padahal dahulu, hanyalah cakram-cakram doa dan umbul-umbul yang terlihat di atap rumah-rumah warga.
Cerminan masuknya modernisasi di abad 21 di Bhutan berdasarkan teori modernitas kontemporer yang diusung oleh Anthony Giddens yang berdasarkan 4 institusi dasar yaitu satu, masuknya perkembangan kapitalisme. Yaitu sejak ditandainya peningkatan kerjasama perdagangan Bhutan dengan negara maju. Kerjasama perdagangan tersebut berupa eksport import. Eksport yang dilakukan oleh Bhutan pada periode 2006-2007 salah satunya yaitu eksport listrik 26.5%, media rekam 16.8%, minyak kelapa sawit 7.4%. Selain itu juga terdapat kerjasama perdagangan import dengan negara lain pada periode 2006-2007, yaitu import minyak dissel 7.9%, copper wires 7.3%, minyak kelapa sawit mentah 5.5%, bahan bakar bensin 3.1%. Yang mana mitra dagang utama Bhutan tersebut adalah India, Hong Kong, Japan, Germany, Singapore,  Thailand, Amerika dan Eropa. Dua, Meningkatnya kemajuan Bhutan di bidang industrialisasi. Tidak saja di bidang industri namun juga melibatkan kemajuan di bidang transportasi, komunikasi bahkan perabotan rumah tangga dilihat dari data 2006-2007 di Bhutan yaitu sebesar 37.9%. Memang tidak terlalu significant dari tahun ke tahun, hal ini karena kondisi alam Bhutan yang merupakan daratan tidak rata dan jauh dari laut. Hasil industri Bhutan antara lain adalah kerajinan tangan, semen, produksi kayu, buah-buahan yang diproses, minuman keras dan kalsium karbida. Tiga, Meningkatnya kemampuan Bhutan dalam mengawasi atas aktivitas warga negara individual. Hal ini dilakukan agar pengawasan tidak semata-mata hanya dalam bidang politik, namun juga pengawasan bagi rakyat Bhutan secara keseluruhan. Salah satu kenyamanan dan pelayanan di Bhutan adalah bahwa telah diberlakukannya kesepakatan antara masyarakat Bhutan dan masyarakat India dapat berkunjung satu dengan lainnya, tanpa visa dan paspor, cukup hanya dengan menunjukkan kartu tanda pengenal masing-masing warga. Hal ini karena, Bhutan telah menjamin bahwa hak-hak perlindungan terhadap warga negara Bhutan tidak akan hilang atau berkurang meski telah bepergian dan melakukan kerjasama dengan India. Dan yang keempat, adalah munculnya kekuatan militer atau pengendalian atas alat-alat kekerasan termasuk industrialisasi peralatan perang atas bantuan dan kerjasama dari negara eropa dan Inggris. Dalam hal ini meski negara kecil, Bhutan ternyata memiliki Tentara Kerajaan Bhutan sebagai petugas pengamanan militer di Bhutan. Selain itu, Bhutan juga memiliki pengawal kerajaan dan Polisi Kerajaan Bhutan yang mana keanggotaannya bersifat sukarela, dan usia minimum untuk perekrutan adalah 18 tahun. Oleh karena itu, Bhutan meski sebagai sebuah negara yang terkenal dengan sifat tradisionilnya ternyata juga telah mengalami modernisasi dalam hal militerisasi, terkait dengan jumlah tentara Bhutan yang sekitar 6.000 orang. (USAID, 2011).    Dengan lajunya modernisasi ke dalam lini kehidupan masyarakat tradisionil Bhutan mau tidak mau, suka tidak suka telah membawa dampak budaya negara maju dan budaya Barat di Bhutan. Hal yang paling sederhana adalah seperti yang tampak secara sederhana adalah seperti bola basket telah menggantikan olah raga panahan sebagai olah raga nasional Bhutan. Acara-acara televisi seperti Friends, teletubies, BBC dan CNN telah banyak menghibur, memberikan informasi dan pengetahuan di luar pegetahuan masyarakat Bhutan sebelumnya, video-video kaset barat ternyata dibwa langsung oleh raja mereka dari Barat untuk konsumsi publik, bahkan email telah masuk menggantikan surat tulis tangan. Akibatnya anak-anak kini pergi berziarah ke biara-biara untuk berdoa dan menyalakan lampu minyak dengan mengenakan kaus Spice Girl, para petani yang dulu menjual apel, jeruk dan kentang sekarang berlomba-lomba pergi ke negara tetangga untuk mendapatkan mata uang asing. Dengan demikian, Bhutan sebagai negara yang sebelumnya sangat menjunjung tinggi nilai-nilai etis, adat  istiadat, ekologis dan moralitas sebagai landasan hidupnya, sekarang ini hanya dalam beberapa tahun terakhir telah mengalami infiltrasi. Bhutan tidak sanggup menangkis penjarahan oleh negara Barat dan tidak mampu melanjutkan kebijakan-kebijakan isolasinya yang baru saja dikemukakan oleh menteri pembangunannya C. Dorji. Ia bertekuk lutut dengan masuknya pengaruh Barat.  Melihat kenyataan yang ada di abad sekarang ini, perubahan sosial di Bhutan sangat jelas terlihat bahkan hanya dalam hitungan tahun. Sesuatu yang sangat tidak sesuai dengan prinsip awal mereka. Sehingga masayarakat Bhutan di abad 21 ini, apabila dikatakan sebagai masyarakat tradisionil juga tidak tepat, karena sudah mengenal budaya dan teknologi Barat. Namun apabila dikatakan sebagai masyarakat yang modern juga tidak tepat karena mereka masih melakukan tradisi lama meski menyandingnya dengan sesuatu yang dibawa dari Barat. Seperti melakukan ritual doa tidak lagi menggunakan pakaian adat melainkan dengan pakaian musisi Barat. Dengan demikian tercerabutnya hal-hal yang menyangkut sistem dasar, nilai-nilai originalitas masyarakat Bhutan inilah yang disebut dengan Durkheim sebagai Anomi. Pertanyaan kemudian apakah mereka masih akan terus mempertahankan tradisi penyembahan terhadap Budha seperti dahulu? Atau malah akan bergeser ke arah penyembahan terhadap MTV? 
            Kembali berbicara mengenai perubahan, tentu saja hal ini juga memiliki dampak positif, terutama apabila dilihat dari sisi ekonomi. Masyarakat tradisionil Bhutan tempo dulu meski hidup bahagia dan damai, tentu mereka tetap masih dikategorikan negara termiskin dengan pendapatan hanya US $550, namun kini pasca masuknya modernisasi di abad 21, adanya tahapan seperti yang dikemukakan pada teori pembangunan Rostow, maka perlahan tapi pasti masyarakat Bhutan telah mulai meninggalkan sisi tradisional mereka yang akan menghambat pembangunan dan kemajuan pada pola pikir masyarakat Bhutan. Dan karena hal tersebut pula maka secara langsung maupun tidak langsung, Bhutan telah berhasil meningkatkan pendapatan GDP perkapita negara tersebut menjadi $4,900  di tahun 2008, lalu meningkat pada $5,300 di tahun 2009, dan $5,500 di akhir tahun 2010. GDP (Purchasing Power Parity) sebesar $3.34 milyar di tahun 2008, $3.63 milyar di tahun 2009 dan $3.875 milyar di akhir tahun 2010. (CIA, 2011).


KESIMPULAN

Lahirnya masyarakat modern di abad 21 tentu saja telah mengalami perubahan-perubahan dramatis yang berbeda dengan kelompok masyarakat yang lahir sebelum masa ini. Hal ini yang kemudian menimbulkan terjadinya perubahan pada pola perubahan sosial dan ekonomi pada kehidupan suatu kelompok masyarakat pasca masuknya modernisasi di abad 21. Namun apakah hubungan perubahan ekonomi dan sosial dalam teori modernisasi? Lalu kemudian bagaimanakah pengaruh modernisasi terhadap kehidupan sosial dan perekonomian masyarakat negara Bhutan di abad 21.
Dan ternyata berdasarkan pemikiran-pemikiran para teoritis sosial dan contoh kasus yang terjadi di Bhutan menjelaskan bahwasanya pada hubungan perubahan ekonomi dan sosial dalam masyarakat modern, terdapat hubungan yang berbanding terbalik antara perubahan yang bersifat ekonomi di dalam modernisasi dengan perubahan sosial di dalam modernisasi. Dimana ketika mengacu pada contoh negara yang terinfiltrasi oleh kebudayaan Barat, secara ekonomi di tahun 2000an Bhutan berhasil menaikkan pendapatan ekonominya dari tahun ke tahun dari sisi industri maupun pertaniannya, namun apabila efek modernisasi tersebut dilihat dari sisi sosial masyarakatnya, masyarakat  Bhutan yang pada tahun 1990an masih berpegang teguh pada prinsip tradisionalisasinya ternyata harus bertekuk letut di bawah kekuatan modernisasi yang di usung negara maju maupun Barat. Sehingga mereka seakan tercerabut secara pelan dan pasti dari akar-akar nilai yang sebelumnya mereka pegang kuat sebagai jati diri yang kini telah memudar. Masyarakat Bhutan yang entah sadar atau sadar tapi pura-pura tidak sadar, telah berada di posisi anomi. Sunguh ironi ketika melihat kemajuan ekonomi yang dibawa modernisasi di negara berkembang ternyata tidak seiring sejalan dengan kualitas sosial yang lebih baik.
           







No comments:

Post a Comment