Pada
abad 21 para teoritis sosial mulai disibukkan dengan persoalan apakah masyarakat
abad 21 telah mengalami perubahan-perubahan dramatis atau tidak. Apabila
dikatakan telah mengalami perubahan, maka perubahan seperti apakah yang dilalui
masyarakat abad 21 ini. Salah satu hal yang sangat mendasar dan mudah untuk
dicermati adalah ketika terjadinya perubahan yang dialami masyarakat abad 21 akibat
berkembang pesatnya teknologi dan komunikasi yang melahirkan masyarakat modern.
Lahirnya masyarakat modern ini sesungguhnya merupakan objek perhatian pokok
dalam sosiologi, sehingga berbagai teori mulai dari klasik sampai kontemporer
berupaya untuk menjelaskan perubahan pada pola masyarakat ini.
Dalam teori sosiologi
klasik masyarakat modern dijelaskan melalui analisis komparasi dengan
masyarakat pra modern, atau sering disebut dengan masyarakat tradisionil. Marx
melihat masyarakat modern dari perspektif ekonomi kapitalisnya, Weber melihat
adanya perubahan rasionaliasi menjadi rasionalisasi formal, dan Durkheim melihat
adanya peningkatan solidaritas organik dan menurunnya kesadaran kolektif. Namun
selain dari pandangan masing-masing mengenai masyarakat modern tersebut, ketiga
ahli ini ternyata mengkhawatirkan adanya arah dan sisi negatif oleh masyarakat
modern. Marx melihat pada alienasi dan eksploitasi yang dialami kalangan buruh,
Weber mengkhawatirkan penjara besi rasionalitas (iron cage rasionality), sementara Durkheim mengkhwatirkan anomi
yang dialami masyarakat karena begitu cepatnya perubahan yang tidak selalu bisa
diikuti oleh semua orang. Tetapi sedikit berbeda dengan ketiga sosiolog klasik
yang mengkhawatirkan sisi masyarakat modern, George Simmel melalui bukunya Philosophy of Money, ia menolak
kekhawatiran atas pengaruh lahirnya masyarakat modern. Justru Ia berpendapat,
bahwa lahirnya masyarakat modern dapat melahirkan keuntungan secara materi (Ritzer
2003, 550).
“Simmel meneliti modernitas terutama dari dua
sisi utama yang saling berhubungan, yaitu kota dan ekonomi uang. Kota adalah
tempat modernitas dipusatkan dan diintensifkan, sedangkan ekonomi uang
menyebabkan penyebaran modernitas dan perluasannya.” (Frisby 1992, 69)
Sehingga melalui pemikirannya Simmel
memandang bahwa masyarakat modern kota berjalan lurus dengan ekonomi uang, dan kota
menjadi objek pokoknya karena disinilah terjadi intensitas tertinggi dari gejala
modernitas.
Namun pada tahun 1920, keempat
teoritis masyarakat modern yang telah disebut di atas telah meninggal dunia,
sedangkan kehidupan masyarakat terus berjalan dan berubah. Tentu saja kehidupan
masyarakat zaman 1920an sangat berbeda dengan kehidupan zaman abad 21. Sehingga
memerlukan pemikiran dari teoritisi sosial zaman sekarang yang mampu
menjelaskan pola perubahan sosial dan ekonomi pada kehidupan masyarakat modern
di abad 21, yang disebut dengan modernisasi kontemporer.
Dalam melihat adanya pola perubahan pada kehidupan sosial dan
perekonomian suatu masyarakat modern di abad 21, penulis mengambil contoh kasus
pada apa yang dialami oleh masyarakat Bhutan akibat dari lajunya modernisasi
dan arus kapitalis di abad 21. Dalam materi pembahasan mengenai Bhutan, penulis
mengambil periode abad 21 yaitu setelah tahun 2000an pada analisa perubahan
sosial yang terjadi Bhutan. Mengapa Bhutan? Karena Bhutan adalah salah satu negara
yang bisa dikatakan unik dengan simbol-simbol tradisional yang melekat padanya.
Bhutan adalah sebuah negara kecil di Asia
Selatan yang berbentuk Kerajaan dan dikenal dengan Negeri Naga Guntur.
Wilayahnya terhimpit antara India dan Republik Rakyat Cina. Pemerintahan yang
dijalankan dengan kekuasaan monarki
absolut berakhir ketika konstitusi baru dan pemilihan perdana menteri
dilaksanakan. Raja Jigme Singye Wangchuck yang memimpin sejak
tahun 1972
mengumumkan menggelar pemilu tahun 2008, sekaligus turun tahta. Bhutan merupakan kerajaan merdeka
terakhir di kawasan Himalaya yang dengan suka rela mengasingkan diri dari dunia
luar. Bertahan dengan menjalankan kehidupan tradisionil berdasarkan nilai-nilai
ajaran agama Budha yang terus terpelihara. Namun hal itu terjadi sebelum arus
globalisasi dan kapitalis di abad 21 menggerus ciri, gaya, tradisi, budaya dan
moral masyarakat negara itu. (Heertz, 2004: 13)
Terjadinya perubahan pada pola
perubahan sosial dan ekonomi pada kehidupan suatu kelompok masyarakat pasca
masuknya modernisasi di abad 21 lantas menimbulkan pertanyaan sebagai berikut, “apa hubungan perubahan ekonomi dan sosial
dalam teori modernisasi? Lalu kemudian bagaimanakah pengaruh modernisasi
terhadap kehidupan sosial dan perekonomian masyarakat negara Bhutan di abad 21?”
TEORI
MODERNISASI
Berangkat
dari pertanyaan tersebut tentu perlu diketahui dahulu dengan apa yang dimaksud
dengan modernisasi, sebelum penulis membahas hubungan perubahan ekonomi dan
sosial dalam teori modernisasi dan bagaimana pengaruhnya modernisasi terhadap
kehidupan sosial dan perekonomian masyarakat negara Bhutan di abad 21.
Anthony Giddens
seorang teoritisi sosial Inggris masa kini mendefinisikan modernitas kontemporer
dilihat dari kemajuan pada empat institusi mendasar. Pertama adalah kapitalisme
yang ditandai oleh produksi komoditi, pemilikan pribadi atas modal, tenaga
kerja tanpa property (propertyless),
dan sistem kelas. Kedua adalah industrialisme yang melibatkan
penggunaan sumber daya alam dan mesin untuk memproduksi barang. Industrialisme
tidak terbatas hanya pada tempat bekerja saja melainkan juga pada sederetan
lingkungan lain seperti transportasi, komunikasi bahkan perabotan rumah tangga.
Ketiga
adalah kemampuan mengawasi atas aktivitas warga negara individual sehingga
tidak semata-mata pengawasan hanya dalam bidang politik. Keempat adalah kekuatan
militer atau pengendalian atas alat-alat kekerasan termasuk industrialisasi
peralatan perang. Sebagai tambahan, Giddens dalam analisisnya tentang
modernitas, setidaknya di tingkat makro, Giddens memusatkan analisnya pada
negara-bangsa (nation-state) (Ritzer2003, 552)
Giddens
melukiskan kehidupan modern sebagai sebuah “Juggernaut”
(panser-raksasa). Istilah ini secara khusus melukiskan tahapan kemajuan
modernitas, yaitu modernitas radikal, tinggi atau akhir. Secara spesifik,
Giddens mengumpamakan kehidupan modern sebagai sebuah panser raksasa adalah
sebagai berikut,
“Kehidupan
kolektif modern ibarat panser raksasa yang tengah melaju hingga taraf tertentu
bisa dikemudikan, tetapi juga terancam akan lepas kendali hingga menyebabkan
dirinya hancur lebur. Panser raksasa ini akan menghancurkan orang yang
menentangnya dan meski kadang-kadang menempuh jalur yang teratur, namun ia juga
sewaktu-waktu dapat berbelok kearah yang tak terbayangkan sebelumnya.
Perjalanannya bukannya sama sekali tak menyenangkan atau tak bermanfaat:
adakalanya memang menyenangkan dan berubah sesuai dengan yang diharapkan.
Tetapi, sepanjang institusi modernitas ini terus berfungsi, kita tidak akan
pernah mampu mengendalikan sepenuhnya baik arah maupun kecepatan perjalanannya.
Kitapun tidak akan pernah merasa aman sama sekali karena kawasan yang
dijelajahinya penuh dengan bahaya.” (Giddens, 1990: 139)
Dalam hal ini,
modernitas menurut Giddens adalah sebuah dunia yang tak terkendali. Meski
modernitas ibarat pedang bermata dua, yakni dapat membawa perkembangan positif
maupun perkembangan negatif, tetap saja Giddens beranggapan bahwa modernitas
adalah sebuah bayangan ancaman tentang ketidakberartian
pribadi. Yaitu segala sesuatunya karena modernitas, dapat tercerabut dari
hakikat kehidupan aslinya, atau moral aslinya. Namun ketika suatu masyarakat
dapat mengembalikan kehidupan aslinya, moral aslinya yang tercerabut tersebut
kembali ke sentral, maka kehidupan tersebut dapat dikatakan “re-moralisasi”
dalam masyarakat era modern.
HUBUNGAN PERUBAHAN
SOSIAL DAN EKONOMI DALAM MODERNISASI
Berbicara
soal moral pada masyarakat era modern seperti yang telah dibahas di atas, maka tidak
akan luput dari perubahan sosial di masyarakat akibat modernisasi. Masalah
moral mapun nilai-nilai luhur suatu negara, seharusnya merupakan suatu kekuatan
yang cukup penting dalam memperkokoh persatuan dan kesatuan suatu negara. Namun
bagaimana jadinya apabila kehadiran modernisasi yang diikuti dengan lajunya
globalisasi maupun kapitalis ke suatu negara yang belum siap menerima? Mungkin
kita dapat melihat contoh sukses nyata pada negara-negara maju seperti
negara-negara di Eropa dan Amerika, bahwa dengan masuknya modernisasi yang
diikuti dengan pesatnya ilmu pengetahuan teknologi dan industrialisasi
berbanding lurus dengan meningkatnya taraf perekonomian dan sosial mereka.
Namun apakah hal tersebut sama halnya apabila modernisasi masuk ke dalam
negara-negara yang notabene masih merupakan negara berkembang yang sedang dalam
tahap pembangunan? Tentu perlu ditilik ulang mengenai konteks tersebut. Apakah
modernisasi tersebut telah sesuai dengan nilai-nilai atau moral-moral suatu
negara berkembang tersebut? Atau malah membawa sesuatu bencana yang mengkhawatirkan.
Seperti yang disebut oleh toritisi sosial klasik Durkheim sebagai anomi.
Istilah Anomi pertama kalinya dikemukan oleh
Durkheim dalam teori sosialnya sebagai efek dari kebebasan besar (individualisme)
dan produktifitas yang tinggi (ritme rutinitas yang tinggi) di kehidupan masyarakat
modern, namun hal ini justru berbanding terbalik dengan melemahnya kesadaran
kolektif sehingga mengkondisikan lemahnya moralitas bersama, seseorang akan
cenderung merasakan dirinya tak bermakna dalam kehidupan modern, tanpa arah dan
apatis. Dengan kata lain, jati diri
seseorang secara positif bisa saja menjadi lebih kuat dan tegar, namun
berbanding terbalik seakan-akan individu-individu dalam masayarakat modern
tersebut dapat saja kehilangan indentitas dirinya yang sebenarnya. Namun ketika
kita mencoba untuk membahas bagaimana modernisasi dalam perannya membangun
perekonomian di suatu negara, tentu saja kita tidak dapat lepas dari teori
pembangunan. Salah satu teori yang mengacu pada modernisasi adalah teori pembangunan Rostow. Hal ini
karena menurut teori pembangunan Walt Rostow dalam bukunya The Stages of Economic Growth bahwa negara berkembang dalam tujuan
untuk mematangkan pembangunan di negara mereka terutama di bidang ekonomi
makro, negara berkembang harus melalui 5 tahapan. Yaitu: Satu, tahapan masyarakat
tradisional. Dua, penyusunan kerangka dasar tahapan masyarakat pralepas
landas menuju pertumbuhan. Tiga, tahapan lepas landas. Empat,
tahapan menuju kematangan ekonomi. Lima, tahapan masyarakat konsumsi
masal tingkat tinggi. (Todaro, 2006)
Secara teori, apabila suatu negara
berkembang melakukan dengan baik tahapan demi tahapan dari 5 tahapan
pembangunan Rostow di atas, maka masyarakat tradisional yang dianggap sebagai
faktor penghambat pembangunan akan tersingkir, lalu produktifitas pertanian
akan meningkat, terciptanya infrastruktur yang lebih efektif. Selain itu
tahapan tersebut juga akan turut mengembangkan mentalitas masyarakat baru,
maupun kelas baru, yaitu lahirnya para wirausahawan. Teknologi modern juga akan
cepat menyebar hingga ke lini perekonomian menciptakan daya konsumtif di
masyarakat modern. Sehingga dengan demikian investasi bersih dan tabungan
pendapatan nasional suatu negara juga akan meningkat. (Hettne, 2001)
Dari penjelasan-penjelasan di atas
telah dapat dilihat bagaimana hubungan perubahan ekonomi dan sosial dalam
modernisasi pada masyarakat modern. Yaitu terdapat hubungan yang berbanding
terbalik antara perubahan yang bersifat ekonomi di dalam modernisasi dengan
perubahan sosial di dalam modernisasi apabila dilihat dalam perspektif para teoritisi
yang penulis angkat di dalam paper ini. Sunguh ironi ketika melihat kemajuan
ekonomi yang dibawa modernisasi di negara berkembang ternyata tidak seiring
sejalan dengan kualitas sosial yang lebih baik (Durkheim 1993).
KEHIDUPAN SOSIAL DAN PEREKONOMIAN
MASYARAKAT NEGARA BHUTAN DI ABAD 21
Seperti yang
telah penulis sampaikan bahwa modernisasi dapat saja seperti pisau bermata dua,
yaitu dapat membawa dampak positif terutama dalam bidang perekonomian, namun
ternyata dapat berbanding terbalik berdampak negatif bagi perkembangan sosial
masyarakat di suatu negara berkembang akibat anomi. Maka demikian halnya dengan
Bhutan di abad 21 seperti sekarang ini. Bhutan, yang memiliki nama lokal Druk Yul yang berarti "Tanah
Naga Guntur" baru
mulai membuka
diri terhadap orang luar pada 1907-an. Yaitu
pada saat Ugyen Wangchuck dipilih dengan suara bulat sebagai raja pusaka negeri
ini oleh majelis rahib Buddha, pejabat pemerintahan, dan kepala keluarga
penting yang menonjol. Pemerintah Britania menyetujui dengan
cepat monarki baru ini, dan pada 1910 Bhutan menandatangani perjanjian yang
membuat Britania Raya ‘memandu’ urusan luar negeri Bhutan. Namun pemerintahan
yang dijalankan dengan kekuasaan monarki
absolut ini berakhir ketika konstitusi baru dan pemilihan
perdana menteri mulai dilaksanakan. Raja Jigme Singye Wangchuck
yang memimpin sejak tahun 1972
mengumumkan menggelar pemilu tahun 2008,
sekaligus turun tahta, namun pada tahun 2006
sang raja mengundurkan diri dan digantikan oleh puteranya. (BBC NEWS, 2011)
Sebelumnya
Bhutan merupakan suatu negara kerajaan yang secara berabad-abad secara suka
rela mengasingkan diri dari dunia luar dan bertindak secara tradisionil. Hal
ini karena Bhutan memiliki suatu kebudayaan kuno yang unik yaitu Bhutan Buddhis yang menjadi pemandangan
yang menakjubkan,
dan membuatnya menjadi daya tarik wisata. Raja Jigme Singye Wangchuck juga termasuk salah seorang raja yang sangat memperhatikan
kelestarian kebudayaannya. Dia selalu berpakaian nasional wajib,
yaitu kain yang membungkus sekitar
lutut-panjang "gho" untuk pria dan gaun panjang pergelangan kaki yang
dikenal sebagai "kira" bagi perempuan. Akibat perilaku konsisten dengan kerasnya upaya melestarikan
kehidupan tradisionil dan warisan budaya nenek moyang yang sarat dengan
Budhisme, Bhutan mampu bertahan berabad-abad mengikuti cara dan gayanya
sendiri. Masyarakat Bhutan di abad 19 sangat menjunjung tinggi nilai-nilai
ajaran Budha dan tradisi-tradisi lama mereka. Dan dengan penduduk sekitar 600.000
jiwa, Bhutan merupakan salah satu negara miskin di dunia dengan GNP per kapita
hanya $ 550. Namun apabila dikatakan miskin dan menderita sebenarnya tidak juga
tepat dikatakan demikian, karena ternyata 85% dari penduduknya tetap giat
melakukan pertanian subsisten. Dan terlebih lagi transaksi barter merupakan hal
yang biasa dilakukan oleh masyarakat Bhutan di abad 19. Sehingga dalam hal ini,
meski dikategorikan negara miskin, sejatinya masyarakat Bhutan merasa tidak
kekurangan sesuatu apapun, dimana kebutuhan sandang, pangan dan papan mereka
terpenuhi. Selain itu pula Monarki Bhutan juga menjadi sorotan masyarakat
internasional akan promosi filosofinya yang mengagumkan yaitu penerapan "Happiness Nasional
Bruto" (GNH), yang berusaha untuk menekankan bahwa pancapaian keseimbangan
antara spiritual dan material
itu jauh lebih penting daripada GNP. Pada saat itu, menteri perencanaan
pembangunan Bhutan C. Dorji pada tahun
1998 juga mengatakan bahwa,
“kami tidak akan terburu-buru memeluk segala
sesuatu yang disebut dengan modern. Kami akan belajar dari pengalaman mereka
yang lebih dahulu melaksanakan pembangunan, dan kemudian menjalankan modernisasi
dengan hati-hati sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan kami. Kami berusaha
untuk tetap melestarikan sistem nilai, tradisi dan budaya kami yang sangat
berharga.” (Heertz, 1998).
Namun
yang kemudian terjadi pada abad 21, dimana modernisasi sanggup menjangkau jauh
ke pedalaman, hingga ke Bhutan sekalipun. Dengan sangat cepat sisi originalitas
sistem tradisionil yang mereka bangga-banggakan tersebut mulai memudar. Hal ini
terlihat ketika tentakel-tentakel kapitalisme global mulai menyeruak masuk ke
dalam lini kehidupan masyarakat tradisional Bhutan. Hal yang terlihat jelas
adalah sekarang ribuan antenna parabole mewarnai panorama Bhutan. Antena-antena
tersebut baru mulai bermunculan di tahun 2000an terakhir-terakhir ini. Padahal
dahulu, hanyalah cakram-cakram doa dan umbul-umbul yang terlihat di atap
rumah-rumah warga.
Cerminan masuknya modernisasi di
abad 21 di Bhutan berdasarkan teori modernitas kontemporer yang diusung oleh Anthony
Giddens yang berdasarkan 4 institusi dasar yaitu satu, masuknya perkembangan
kapitalisme. Yaitu sejak ditandainya peningkatan kerjasama perdagangan Bhutan
dengan negara maju. Kerjasama perdagangan tersebut berupa eksport import. Eksport
yang dilakukan oleh Bhutan pada periode 2006-2007
salah satunya yaitu eksport listrik 26.5%, media rekam 16.8%, minyak kelapa
sawit 7.4%. Selain itu juga terdapat kerjasama perdagangan import dengan negara
lain pada periode 2006-2007, yaitu import minyak dissel 7.9%, copper wires 7.3%,
minyak kelapa sawit mentah 5.5%, bahan bakar bensin 3.1%. Yang mana mitra
dagang utama Bhutan tersebut adalah India,
Hong Kong, Japan, Germany, Singapore, Thailand, Amerika dan Eropa. Dua,
Meningkatnya kemajuan Bhutan di bidang industrialisasi. Tidak saja di bidang industri
namun juga melibatkan kemajuan di bidang transportasi, komunikasi bahkan
perabotan rumah tangga dilihat dari data 2006-2007 di Bhutan yaitu sebesar 37.9%. Memang tidak terlalu significant
dari tahun ke tahun, hal ini karena kondisi alam Bhutan yang merupakan daratan
tidak rata dan jauh dari laut. Hasil industri Bhutan antara lain adalah
kerajinan tangan, semen,
produksi kayu,
buah-buahan yang diproses, minuman keras dan kalsium karbida.
Tiga,
Meningkatnya kemampuan Bhutan dalam mengawasi atas aktivitas warga negara
individual. Hal ini dilakukan agar pengawasan tidak semata-mata hanya dalam
bidang politik, namun juga pengawasan bagi rakyat Bhutan secara keseluruhan.
Salah satu kenyamanan dan pelayanan di Bhutan adalah bahwa telah diberlakukannya
kesepakatan antara masyarakat Bhutan dan masyarakat India dapat berkunjung satu
dengan lainnya, tanpa visa dan paspor, cukup hanya dengan menunjukkan kartu
tanda pengenal masing-masing warga. Hal ini karena, Bhutan telah menjamin bahwa
hak-hak perlindungan terhadap warga negara Bhutan tidak akan hilang atau
berkurang meski telah bepergian dan melakukan kerjasama dengan India. Dan yang keempat,
adalah munculnya kekuatan militer atau pengendalian atas alat-alat
kekerasan termasuk industrialisasi peralatan perang atas bantuan dan kerjasama
dari negara eropa dan Inggris. Dalam hal ini meski negara kecil, Bhutan
ternyata memiliki Tentara
Kerajaan Bhutan sebagai petugas pengamanan militer di
Bhutan. Selain itu, Bhutan juga memiliki pengawal kerajaan dan Polisi Kerajaan
Bhutan yang mana keanggotaannya bersifat sukarela, dan
usia minimum untuk perekrutan adalah 18 tahun. Oleh karena itu, Bhutan meski
sebagai sebuah negara yang terkenal dengan sifat tradisionilnya ternyata juga
telah mengalami modernisasi dalam hal militerisasi, terkait dengan jumlah
tentara Bhutan yang sekitar 6.000 orang. (USAID, 2011). Dengan lajunya modernisasi ke dalam lini kehidupan masyarakat
tradisionil Bhutan mau tidak mau, suka tidak suka telah membawa dampak budaya negara
maju dan budaya Barat di Bhutan. Hal yang paling sederhana adalah seperti yang tampak
secara sederhana adalah seperti bola basket telah menggantikan olah raga
panahan sebagai olah raga nasional Bhutan. Acara-acara televisi seperti Friends, teletubies, BBC dan CNN telah
banyak menghibur, memberikan informasi dan pengetahuan di luar pegetahuan
masyarakat Bhutan sebelumnya, video-video kaset barat ternyata dibwa langsung
oleh raja mereka dari Barat untuk konsumsi publik, bahkan email telah masuk
menggantikan surat tulis tangan. Akibatnya anak-anak kini pergi berziarah ke
biara-biara untuk berdoa dan menyalakan lampu minyak dengan mengenakan kaus Spice Girl, para petani yang dulu
menjual apel, jeruk dan kentang sekarang berlomba-lomba pergi ke negara
tetangga untuk mendapatkan mata uang asing. Dengan demikian, Bhutan sebagai
negara yang sebelumnya sangat menjunjung tinggi nilai-nilai etis, adat
istiadat, ekologis dan moralitas sebagai landasan hidupnya, sekarang ini hanya
dalam beberapa tahun terakhir telah mengalami infiltrasi. Bhutan tidak sanggup menangkis penjarahan oleh negara
Barat dan tidak mampu melanjutkan kebijakan-kebijakan isolasinya yang baru saja
dikemukakan oleh menteri pembangunannya C. Dorji. Ia bertekuk lutut dengan
masuknya pengaruh Barat. Melihat
kenyataan yang ada di abad sekarang ini, perubahan sosial di Bhutan sangat
jelas terlihat bahkan hanya dalam hitungan tahun. Sesuatu yang sangat tidak
sesuai dengan prinsip awal mereka. Sehingga masayarakat Bhutan di abad 21 ini,
apabila dikatakan sebagai masyarakat tradisionil juga tidak tepat, karena sudah
mengenal budaya dan teknologi Barat. Namun apabila dikatakan sebagai masyarakat
yang modern juga tidak tepat karena mereka masih melakukan tradisi lama meski
menyandingnya dengan sesuatu yang dibawa dari Barat. Seperti melakukan ritual
doa tidak lagi menggunakan pakaian adat melainkan dengan pakaian musisi Barat. Dengan
demikian tercerabutnya hal-hal yang menyangkut sistem dasar, nilai-nilai
originalitas masyarakat Bhutan inilah yang disebut dengan Durkheim sebagai Anomi. Pertanyaan kemudian apakah
mereka masih akan terus mempertahankan tradisi penyembahan terhadap Budha
seperti dahulu? Atau malah akan bergeser ke arah penyembahan terhadap MTV?
Kembali
berbicara mengenai perubahan, tentu saja hal ini juga memiliki dampak positif,
terutama apabila dilihat dari sisi ekonomi. Masyarakat tradisionil Bhutan tempo
dulu meski hidup bahagia dan damai, tentu mereka tetap masih dikategorikan negara
termiskin dengan pendapatan hanya US $550, namun kini pasca masuknya
modernisasi di abad 21, adanya tahapan seperti yang dikemukakan pada teori
pembangunan Rostow, maka perlahan tapi pasti masyarakat Bhutan telah mulai
meninggalkan sisi tradisional mereka yang akan menghambat pembangunan dan kemajuan
pada pola pikir masyarakat Bhutan. Dan karena hal tersebut pula maka secara
langsung maupun tidak langsung, Bhutan telah berhasil meningkatkan pendapatan GDP
perkapita negara tersebut menjadi $4,900 di tahun 2008,
lalu meningkat pada $5,300 di tahun 2009, dan $5,500 di akhir tahun 2010. GDP
(Purchasing Power Parity) sebesar $3.34 milyar di tahun 2008, $3.63 milyar di
tahun 2009 dan $3.875 milyar di akhir tahun 2010. (CIA, 2011).
KESIMPULAN
Lahirnya masyarakat modern di abad
21 tentu saja telah mengalami perubahan-perubahan dramatis yang berbeda dengan
kelompok masyarakat yang lahir sebelum masa ini. Hal ini yang kemudian
menimbulkan terjadinya perubahan pada pola perubahan sosial dan ekonomi pada
kehidupan suatu kelompok masyarakat pasca masuknya modernisasi di abad 21.
Namun apakah hubungan perubahan ekonomi dan sosial dalam teori modernisasi? Lalu
kemudian bagaimanakah pengaruh modernisasi terhadap kehidupan sosial dan
perekonomian masyarakat negara Bhutan di abad 21.
Dan ternyata berdasarkan
pemikiran-pemikiran para teoritis sosial dan contoh kasus yang terjadi di
Bhutan menjelaskan bahwasanya pada hubungan perubahan ekonomi dan sosial dalam
masyarakat modern, terdapat hubungan yang berbanding terbalik antara perubahan
yang bersifat ekonomi di dalam modernisasi dengan perubahan sosial di dalam
modernisasi. Dimana ketika mengacu pada contoh negara yang terinfiltrasi oleh
kebudayaan Barat, secara ekonomi di tahun 2000an Bhutan berhasil menaikkan
pendapatan ekonominya dari tahun ke tahun dari sisi industri maupun
pertaniannya, namun apabila efek modernisasi tersebut dilihat dari sisi sosial
masyarakatnya, masyarakat Bhutan yang
pada tahun 1990an masih berpegang teguh pada prinsip tradisionalisasinya
ternyata harus bertekuk letut di bawah kekuatan modernisasi yang di usung
negara maju maupun Barat. Sehingga mereka seakan tercerabut secara pelan dan
pasti dari akar-akar nilai yang sebelumnya mereka pegang kuat sebagai jati diri
yang kini telah memudar. Masyarakat Bhutan yang entah sadar atau sadar tapi
pura-pura tidak sadar, telah berada di posisi anomi. Sunguh ironi ketika
melihat kemajuan ekonomi yang dibawa modernisasi di negara berkembang ternyata
tidak seiring sejalan dengan kualitas sosial yang lebih baik.
No comments:
Post a Comment