Friday, March 1, 2013

TERRORISM AS STRATEGY INSURGENCY IN KHASMIR CONFLICT




Berbicara mengenai masalah persengkataan di Khasmir memang seakan tidak akan ada habisnya. Konflik yang terus terjadi sejak 6 dekade, tahun 1947 hingga sekarang 2011. Konflik yang terjadi adalah perselisihan antara India (Hindu) dan Khasmir (Muslim). Selain itu masyarakat Khasmir juga ingin mendapat hak referendum untuk dapat menentukan sendiri nasib bangsanya. Namun secara tegas India menolak hal tersebut. India tetap pada klaimnya, bahwa wilayah Khasmir adalah hak negaranya. Hal inilah yang membuat konflik dalam kawasan ini menjadi sangat mengerikan. Pembantaian dimana-mana, sehingga kematian adalah hal yang sangat lumrah ditemukan di jalan-jalan wilayah Khasmir.
Masyarakat Khasmir menuntut hak asasi manusianya yang terampas oleh India. Mereka menginginkan referendum kebebasan dari kependudukan India. Mereka sering melakukan aksi demonstrasi ke kantor-kantor sipil India, namun justru berondongan peluru dari tentara militer India yang menyambut aksi demonstrasi mereka. Dan ketika masyarakat internasional lebih mempercayai cerita versi India dan mengabaikan hak referendum masyarakat Khasmir, seolah-olah tidak ada jalan lain bagi mereka selain berjuang dengan harta yang paling berharga yang mereka punya, yaitu nyawa dan kepercayaan.
Bagaimanapun pengaruh Al Qaeda secara langsung dan tidak langsung masuk ke dalam pemikiran-pemikiran pejuang Khasmir. Mereka mengikuti apa yang pernah dilakukan jaringan Al Qaeda pasca 9/11 di Amerika. Sehingga lewat aksi jihad dan terorisme, para pejuang Khasmir melakukan sebuah tindakan separatis di India. Satu tindakan terorisme yang sangat mengerikan adalah serangan yang terjadi pada 26 November 2008 di ruang publik Mumbai India, menewaskan 170 orang dan melukai 327 orang (CNN, 2008).
Melihat fenomena ini, dimana terorisme sebagai tindakan anarkis telah menjadi sebuah strategi insurgensi melawan pemerintahan yang memiliki kekuatan yang lebih kuat, yang kemudian lantas menimbulkan pertanyaan, “Bagaimana terorisme dapat digunakan sebagai sebuah strategi insurgensi dalam memperjuangkan kemerdekaan Khasmir dari pendudukan India?”



TERORISME
Dewasa ini lebih sering kita jumpai jenis peperangan baru. Seperti yang sering kita dengar yaitu perang Gerilya dan Terorisme. Berbeda dengan jenis perang konvensional yang melibatkan secara langsung dua kubu yang memiliki kekuatan yang seimbang dan tokoh Jenderal yang turun langsung ke lapangan untuk mengatur strategi, saat ini perang seakan memiliki variant baru. Sebuah jenis perang yang benar-benar baru, baik dari cara berperang, jumlah tentara, arah pemikiran dan tujuan yang dicapai. Perang dengan menggunakan cara-cara baru tersebut oleh banyak pakar disebut dengan perang secara asimetris (asymmetric warfare). Disebut demikian oleh the National Defense University merupakan versi perang yang tidak adil. Perang yang tidak mematuhi aturan dan etika perang. Seperti menyerang warga sipil, melakukan pembunuhan dan perusakan, menggunakan senjata yang tidak terduga dan tidak diimbangi dengan kekuatan lawan yang nyaris tidak bersenjata.
Perang secara asimetris inilah yang kemudian memunculkan gerilya dan terorisme sebagai salah satu responnya. Isu terorisme ini sendiri makin menyita perhatian negara, U.S. Commission on National Security dalam laporannya memandang kegiatan terorisme di masa depan sebagai kegiatan yang kurang terstruktur namun mengalami peningkatan dalam membangun jaringannya. Sehingga menimbulkan pecahnya perang asimetris antara warga sipil dengan teroris, teroris dengan teroris yang biasa,  disebut Postmodern Warfare (David Isenberg, 2000)
US Vice-President’s Task Force (1986) mendefinisikan terorisme sebagai penggunaan hal-hal ilegal atau ancaman kekerasan terhadap orang atau properti demi suatu tujuan politik atau sosial. Umumnya hal ini dimaksudkan untuk mengintimidasi atau memaksa pemerintah, individu atau kelompok-kelompok yang tidak sepaham dengan pelaku teror untuk memodifikasi sikap-sikap maupun kebijakan-kebijakan pemerintah.
Lembaga hukum Inggris juga mengatakan mengenai definisi terorisme dalam undang-undangnya adalah sebagai cara penggunaan kekerasan untuk tujuan politik, dan termasuk setiap penggunaan kekerasan untuk tujuan menempatkan publik atau bagian dari publik dalam ketakutan. Dan strategi teroris tersebut tidak pernah berkerja dalam suatu kontrol wilayah tertentu. Meskipun fakta bahwa teroris mencoba untuk memaksakan kehendak mereka pada populasi umum dengan menebarkan rasa takut, pengaruh ini tidaklah memiliki garis batas geografis yang jelas.
Terorisme sebagai respon dari aksi penindasan sebuah perang yang tidak seimbang atau ketidakpuasan terhadap politik yang ada. Sehingga melahirkan bayi terorisme sebagai strategi insurgensi di beberapa kawasan. Pada prakteknya, terorisme memiliki beberapa karakteristik untuk mempermudah kita memahami tindakan terorisme sebagai model dari bentuk perjuangan pejuang yang keras. Seperti yang akan dijabarkan berikut ini :
1.      Jumlah keanggotaan dari sebuah kelompok teroris tidak besar, hanya beranggotaan sedikit atau tidak sebanding dengan kekuatan pemerintah. Meski demikian tiap individu memiliki kemampuan bertarung di atas rata-rata. Satu orang dapat membunuh, menyandera, menculik beberapa orang sekaligus.
2.      Persenjataan yang sering digunakan adalah pistol, granat, senapan, bom, bom mobil, bom remote control. Yang mana semua senjata ini sangat mudah di bawa-bawa oleh pemiliknya. Hal ini tentu memudahkan teroris untuk melakukan aksinya.
3.      Taktik yang digunakan pada aksi terorisme ini adalah serangan langsung ke pusat publik secara tiba-tiba, menculik, menyandera, membunuh, membajak (kapal atau ruang publik) meledakkan bom mobil bahkan hingga meledakkan diri sendiri.
 4.      Target mereka adalah simbol-simbol besar sebuah negara, lawan politik, hingga ke siapapun yang bekerjasama dengan lawan dan bagi siapapun yang dianggap bertentangan dengan ideologi mereka yang fundamental.
5.      Efek yang diharapkan adalah tekanan pada psikologi lawan. Dengan menebar rasa takut, rasa tidak aman dan penderitaan.
6.      Mereka para pelaku teroris tidak memiliki dan memakai seragam khusus, hanya memakai pakaian mereka sehari-hari. Agar mereka merasa nyaman di dalamnya.
7.      Mereka tidak punya arena peperangan khusus. Mereka melakukan aksi terorisme hanya pada tempat-tempat yang telah menjadi incaran mereka sebelumnya, tanpa pihak lain dapat mengetahuinya. Dan itu berarti, arena peperangan mereka, bisa dimana saja dan kapan saja. Tanpa seorangpun selain anggota mereka sendiri yang mengetahuinya.
(Ariel Merari, 1993)

TERORISME SEBAGAI STRATEGI INSURGENSI
            Dalam prakteknya, perlengkapan teroris dalam melakukan aksinya ini sangatlah terbatas. Mereka menempatkan bahan peledak di tempat umum, membunuh lawan politik atau melakukan serangan dengan senjata kecil pada masyarakat luas, mengambil sandera melalui penculikan, pembajakan, atau menyekap diri dalam bangunan. Selain itu, dalam beberapa kasus, tindakan terorisme ini dilakukan oleh kelompok atau unit yang cukup kecil jumlah keanggotaannya.
            Dan dalam menjelaskan bagaimana sebuah terorisme dapat dikatakan sebagai strategi insurgensi, maka dalam paper ini, penulis akan mencoba menjelaskan lebih lanjut strategi maupun tujuan mereka melalui jalan pikiran mereka yang sempit. Yaitu, terorisme sebagai elemen menyerang psikologi, propaganda, intimidasi dan provokasi agar apa yang mereka inginkan dari pemerintah ataupun dari individu atau kelompok-kelompok yang tidak sepaham dengan mereka mengenai perubahan atas sikap-sikap maupun kebijakan-kebijakan dapat terkabul. Untuk lebih memahami bagaimana maksud dan tujuan para pelaku terror menggunakan terorisme sebagai strategi insurgensi yang telah disebutkan di atas, maka penjelasan lebih lanjut dapat dilihat pada uraian berikut ini:
1.       
Elemen psikologis 
Pada hakikatnya, terorisme adalah sebuah strategi yang didasarkan pada dampak psikologi. Dan pada kenyataannya pula, semua jenis peperangan yang menggunakan psikologi sebagai sasaran serangnya, sanggup membuat runtuhnya semangat juang musuh dan menghancurkan keyakinan diri musuh melalui penebaran rasa takut. Hal ini sesuai seperti yang pernah dikatakan oleh Sir Basil Liddell Hart, bahwa strategi perang dengan menyerang dampak psikologis adalah maneuver yang paling krusial dari sebuah pendekatan tidak langsung dalam perang, karena berasal dari keyakinan diri dalam hati bahwa tidak ada alasan materi dalam melawan musuh, yang ada hanya jiwa perjuangan. Oleh karena itu seperti yang telah dijelaskan Liddell Hart, menyerang psikologis musuh dapat dikatakan sebagai langkah menipu cepat, yang berhasil menjatuhkan musuh dari keseimbangannya psikologisnya.

2.      Propaganda
Pada hakikatnya para pejuang revolusi berharap melalui serangan teror mereka, mengilhami orang lain yang sepakat dengan tindakan merekan untuk turut bersama melannjutkan perjuangan sehingga akan mengubah mereka dari klub konspirasi kecil menjadi gerakan revolusioner besar-besaran. Propaganda yang mereka lakukan biasanya melalui media cetak maupun media elektronik agar maksud dan tujuan mereka dapat diketahui oleh masyarakat luas, dengan demikian mereka secara tidak langsung ingin mendapatkan pelegalan atas tindakan mereka. Bagaimanapun mereka melakukan aksi teroris ini pasti karena ada satu alasan kuat yang melatarbelakangi hingga aksi teror ini terjadi.

3.      Intimidasi
Teroris yang mengaku sebagai pejuang revolusi tidak pernah takut apakah mereka akan hidup atau mati, dan mereka tidak mengenal menyerah. Dan demi mensukseskan maksud dan tujuan, mereka melalui tindakan terror melakukan serangkaian tindakan intimidasi. Yaitu tidak saja dengan menjadikan orang-orang dalam pemerintahan dan politik sebagai target pembunuhan, tetapi juga orang-orang sipil yang mungkin saja tidak tahu apa-apa. 
4.       
      Provokasi
Hal yang paling penting dalam strategi teroris adalah ide provokasi. Ide ini secara umum adalah dalam tiap serangan teroris cenderung bertujuan untuk menarik respon represif oleh rezim, Hal itu dilakukan untuk mempengaruhi juga setiap populasi masyarakat yang tidak terkait dengan pemberontak menjadi setuju atas tindakan mereka. Langkah-langkah ini, pada gilirannya, membuat pemerintahan menjadi pemerintahan yang tidak populer, sehingga meningkatkan dukungan publik kepada teroris yang menyebut diri mereka pejuang. Apabila hal ini telah terjadi, pemerintah seakan tidak memiliki alternatif lain kecuali untuk mengintensifkan penindasan. jaringan polisi, penggeledahan rumah, penangkapan orang tak bersalah dan tersangka, penutup di jalanan, membuat hidup di kota tak tertahankan. Padahal dengan tindakan pemerintah yang seperti itu, membuat masyarakat semakin menolak untuk berkolaborasi dengan pihak berwenang, dan sentimen umum yang muncul karenanya adalah bahwa pemerintah tidak adil, tidak mampu memecahkan masalah.
5.       
      Strategi Chaos
Adalah sebuah ide yang diberlakukan oleh para teroris untuk menyerang psikologis pemerintah. Ide ini biasa disebut dengan strategi kekacauan dan merupakan cirri khas pemberontak sayap kanan. Mengacu pada upaya teroris untuk menciptakan suasana kekacauan sehingga menunjukkan ketidakmampuan pemerintah untuk menerapkan hukum dan ketertiban, pemberontak berharap bahwa publik akan di bawah pengaruh mereka yaitu ikut menekan dan meminta pemerintah liberal yang lemah akan digantikan oleh rezim yang kuat. Dan dalam rangka untuk menciptakan suasana kekacauan dan ketidakamanan, para teroris terpaksa melakukan pemboman acak di tempat-tempat umum. Tidak ada alasan yang jelas untuk pembunuhan selain hanya untuk menciptakan kepanikan dalam lingkungan masyarakat. Seperti konsep-konsep mengenai strategi terorisme yang telah dijelaskan sebelumnya, strategi kekacauan bukan rencana komprehensif untuk merebut kekuasaan, melainkan itu hanyalah cara untuk membuat suasana hati publik turut ingin melanjutkan perjuangan mereka kedepannya.
6.       
      Strategi Gesekan
Strategi gesekan adalah strategi oleh beberapa kelompok pemberontak yang menggunakan terorisme sebagai strategi perjuangan yang berlarut-larut, yang dirancang untuk aus musuh. Dan konsep teror ini digunakan sebagai strategi yang sesungguhnya, yaitu strategi perjuangan untuk mencapai kemenangan yang lengkap, bukan hanya sebagai awal dari bentuk strategi lain. Para teroris ini sepenuhnya menyadari keadaan mereka yang lemah tidak sebanding dengan kekuatan pemerintah. Mereka juga tidak berharap bahwa mereka pernah akan cukup kuat untuk mengalahkan pemerintah dengan konfrontasi fisik. Namun demikian, mereka menganggap bahwa mereka memiliki stamina yang lebih besar dari pemerintah, jika mereka sanggup bertahan, pemerintah pada akhirnya akan menyerah dan akan memberikan apa yang menjadi tuntutan mereka. Karena strategi ini mengasumsikan bahwa para pejuang/teroris dapat bertahan dengan ketekunan yang lebih besar daripada membangun kekuatan yang lebih kuat. (Ariel Merari, 1993)



TERROR ATTACK 11/26-2008
Mumbai, Rabu 26 November 2008 pukul 10.30 malam waktu setempat, mungkin adalah malam yang tidak akan pernah dapat dilupakan oleh rakyat India. Karena pada malam itu telah terjadi serangkaian serangan aksi terorisme oleh kelompok Deccan Mujahideen, pada pusat kota Mumbai. Jenis serangan tersebut berupa bom, kontak senjata dan penyanderaan. Para Mujahid tersebut menyerang langsung pada ruang-ruang publik Mumbai, menembaki orang-orang sipil dan kepolisian serta membombardir fasilitas-fasilitas publik yang tengah ramai digunakan oleh warga sipil di tempat-tempat yang berbeda dalam waktu bersamaan. Tempat kejadian tersebut yaitu di Rumah Sakit Cama (penembakan dan penyanderaan), Hotel Taj Mahal Palace & Tower (penembakan, 6 bom, penyanderaan), Hotel Oberoi Trident (penembakan, bom, penyanderaan),  Kantor Polisi Mumbai Selatan (penembakan yang menyebabkan Regu Anti Teroris Maharashtra dan 2 pejabat tinggi polisi tewas), Mumbai Chabad House, tempat pendeta Yahudi (penembakan, penyanderaan), Stasiun Kereta Chhatrapati ST (bom dan penembakan), Vile Parle (bom mobil),  Metro Adlabs Theatre (penembakan), Cafe Leopold (penembakan), Dermaga Mazagaon (ledakan, dan sebuah kapal bersenjata tertangkap), Girgaum Chowpatty (2 teroris tertangkap), Tardeo (2 teroris tertangkap).
            Bahkan dengan standar terorisme di India, yang telah mengalami peningkatan jumlah serangan tahun ini, serangan-serangan itu sangat berani dalam skala dan eksekusi. Para penyerang menggunakan perahu untuk mencapai semenanjung perkotaan dimana mereka memukul, dan target mereka situs populer dengan wisatawan. Serangan langsung tiba-tiba di beberapa ruang publik di saat bersamaan ini telah membawa banyak korban sipil berjatuhan. Sejumlah media melaporkan lebih dari 90% korban tewas adalah orang India, penduduk yang bermukim dan bekerja di Mumbai. Serangan ini menewaskan sekitar 96 orang India (82 rakyat sipil, 14 polisi), 24 orang asing dan mematikan 9 teroris. Dari media “Press Trust of India” melaporkan korban yang tewas hingga 27 November mencapai 280 orang. Korban kemungkinan akan terus bertambah diatas 200 orang.
Kejadian ini tentu membuat kepanikan dan trauma yang dalam bagi ratusan warga yang menjadi korban penyerangan “11/26 Mumbai”. Penyerangan di Hotel Taj Mahal juga menyebabkan korban bertumpukan di salah satu anak tangga hotel yang terbakar. Jeritan orang-orang yang panik terdengar di sejumlah lantai hotel saat petugas pemadam kebakaran menggunakan tangga cadangan dan memecahkan sejumlah kaca hotel untuk menyelamatkan mereka yang terjebak di dalam hotel tersebut. Puluhan orang disandera di Hotel Taj Mahal. Akibat penyerangan ini, semua sekolah, sekolah tinggi dan sebagian besar kantor termasuk Bursa Efek Bombay dan Bursa Efek Nasional India ditutup pada tanggal 27 November 2008. Begitu juga, shooting film Bollywood dan serial TV dihentikan. (Nusantaranews, 2008)
Para tamu yang telah lolos dari hotel mengatakan kepada stasiun televisi bahwa para penyerang memakai sandera, terutama yang berkewarganegaraan Amerika dan Inggris. Sebuah kelompok yang sebelumnya tidak dikenal mengaku bertanggung jawab, meskipun masih belum jelas apakah ada link ke kelompok-kelompok teroris luar. Kelompok yang mengklaim bertanggungjawab akan serangan yang sangat terorganisir ini adalah organisasi Deccan Mujahideen yaitu organisasi Mujahidin yang beraksi secara brutal dan anarkis. Kata Deccan (Dataran tinggi Dekkan di selatan India), sedangkan Mujahideen (bahasa arab yang berarti pejuang), tapi itu juga berarti grup militant yang berkenaan dengan teroris. Merekalah yang bertanggung jawab dibelakang serangan anarki ini. Dalam aksinya kelompok militant ini menggunakan senjata AK-47, granat, dan RDX. (William Sherman, 2008).
Malam terjadinya serangan terror tersebut, suara tembakan dan ledakan terdengar sampai pagi. Api berkobar di Taj Mahal Palace & Tower Hotel, di sebelah monumen pantai terkenal, Gerbang India. Tamu yang terjebak di dalamnya menggedor jendela lantai agar petugas pemadam kebakaran melihat dan menyelamatkan mereka. Api juga berkobar juga di dalam Hotel Oberoi yang mewah. Di antara mereka tampaknya terjebak di Oberoi adalah eksekutif dan anggota dewan Unilever Hindustan, bagian dari perusahaan raksasa multinasional. Kekuatan militer India tiba di luar Oberoi pukul 2 pagi, dan sekitar 100 petugas dari Rapid Action Force pemerintah pusat, unit polisi elit.  CNN-IBN melaporkan suara tembakan terdengar dari dalam hotel setelah mengetahui kekuatan militer datang membantu polisi untuk melawan teroris tersebut.
Korban selamat mengatakan melalui India TV, bahwa pada hari Kamis pagi, tujuh penyerang menahan sandera di sana, mereka para pelaku terror hanya menggunakan celana jeans dan kaos biasa. Dan tidak seperti serangan sebelumnya di India tahun ini, yang terdiri dari bom yang ditanam secara anonim, para penyerang Rabu malam itu spektakuler baik bersenjata dan sangat konfrontatif. (New York Time, 2008)
Brutalnya tindakan teror ini dilakukan dan besarnya korban sipil yang berjatuhan, sontak membuat seluruh mata dunia tertuju pada India. Hampir semua kepala negara di dunia mengutuk tindakan ini sebagai tindakan yang tidak bermoral dan kejam. Tapi rupanya, tidak demikian bagi pelaku teroris. Salah satu pelaku teror yang tertangkap bernama Imran (20 tahun) dalam bahasa Urdu dengan aksen Kashmir dalam pernyataannya yang disiarkan India TV, mengeluhkan perilaku militer yang sewenang-wenang di Kashmir. Militer India dituduh telah membunuh dengan kejam warga komunitas muslim di kawasan tersebut. “Apakah Anda peduli berapa orang yang sudah dibunuh di Kashmir? Apakah Anda peduli bagaimana tentara Anda membunuh muslim. Apakah Anda peduli berapa banyak yang mereka bunuh minggu ini?” katanya. Sebagian besar pelaku terror tersebut adalah pemuda Khasmir berusia 20-an tahun. Tujuan aksi mereka adalah sebagai bentuk protes terhadap apa yang terjadi di Kashmir. (HarianKomentar Newspaper, 2008)
Sesungguhnya pemberontakan Kashmir telah dimulai sejak tahun 1989, namun yang sering digambarkan di media, perjuangan mereka sering dianggap sebagai gerakan teroris. Bentuk teror yang dilakukan oleh para pejuang Khasmir ini juga bukan pertama kali ini terjadi di India, namun tampaknya hal tersebut akan terus berlanjut selama konflik di Khasmir belum terselesaikan. Konflik di Khasmir memang telah menjadi latar belakang utama dibalik terjadi aksi terorisme di India pada serangan 26 November 2008 lalu.

LATAR BELAKANG KONFLIK KHASMIR
Khasmir yang terletak di sebuah wilayah utara sub-benua India adalah negeri elok dan damai pada awalnya, sebuah kawasan dataran rendah dan sangat subur, dikelilingi oleh gunung yang luar biasa dan dialiri oleh banyak aliran sungai dari lembah-lembah yang mengalir hingga Pakistan, danau yang bening serta padang rumput yang mengagumkan. Dia dikenal sebagai suatu tempat paling indah spektakuler di dunia. Kekayaan alam atas keelokannya, Kashmir ini sedikitnya memberikan pemasukan devisa sekitar 400 juta dolar per tahun dari para pelancong. Namun konflik berkepanjangan antara India dan Pakistan menyebabkan sirnanya kedamaian itu bergantikan dengan darah dan air mata.
Konflik yang terjadi di Khasmir berangkat dari perselisihan antara Hindu dan Muslim sejak abad 17, yaitu ketika pemimpin Afghanistan yang bernama Ahmed Shah Durrani (Muslim) mengalahkan pasukan Mughal (Hindu) dan menguasai Kashmir dan menciptakan situasi yang tidak kunjung reda dan bibit konflik di Kashmir hingga saat ini.
Di tahun 1947, ketika Mahatma Ghandi pemimpin bangsa Hindu India berjuang untuk kemerdekaan India dari jajahan Inggris dengan perjuangan yang gigih. Namun di saat bersamaan Mohammed Ali Jinnah seorang pejuang kemerdekaan juga sedang berjuang bersama umat Muslim. Jinnah menuntut pemisahan India menjadi dua bagian, yaitu Muslim dan Hindu. Dan pada akhirnya, ketika Inggris angkat kaki dari India, Liga Muslim mendirikan negara Pakistan dan Banglades. Sehingga pada tanggal tersebut menjadikan India terbelah menjadi dua, yaitu India dan Pakistan. Namun kerusuhan kembali merebak ketika minoritas Muslim dan Hindu merasa terjebak di beberapa daerah antara India dan Pakistan, dan dalam waktu 1 minggu 1/2 juta manusia tewas. Kashmir sendiri sebenarnya bukan bagian dari wilayah India atau Pakistan, Khasmir berdiri sendiri langsung di bawah Kerajaan Inggris. Oleh karena itu, secara hukum penduduk Khasmir diberi kebebasan untuk menentukan sendiri apakah akan bergabung dengan India, Pakistan atau tetap berdiri sendiri. Sehingga pada tanggal 19 Juli 1947 penduduk Khasmir Muslim mengeluarkan keputusan resmi, yaitu tidak bergabung dengan negara mana pun alias tetap berdiri sendiri. Namun, penguasa Kashmir saat itu, Maharajah Hari Singh (Hindu), merasa keberatan dan menggabungkan Kashmir ke dalam India berdasarkan Perjanjian Asesi tanggal 26 Oktober 1947. Sehingga menyebabkan terpecahnya Khasmir menjadi dua bagian, Khasmir dengan administrasi Pakistan di sebelah Barat, dan Khasmir dengan administrasi India di sebelah Timur. (BBC, 2011)
Akibat terpecahnya Khasmir menjadi dua bagian ini menjadikan konflik persengketaan antara India dan Pakistan. Masyarakat Muslim Kashmir sebenarnya pada akhirnya telah memutuskan pilihan mereka, yaitu memilih merdeka, namun India berhasil menekan Kashmir dan mengelabui dunia internasional dengan mengklaim bahwa Kashmir adalah bagian propinsi India yang tak terpisahkan. India memberikan informasi bahwa masyarakat Kashmirlah yang bertindak anarki dan bertindak separatis serta ingin memisahkan diri dari India. (Republika, 2010)
Kashmir berdarah, sepertinya itulah yang tepat untuk menggambarkan kondisi Khasmir saat ini. Tingkat korban tiap tahunnya sangat tinggi. Setidaknya 40.000 orang tewas sejak pemberontakan dimulai pada 1989, menurut perkiraan resmi konservatif. Perkiraan tidak resmi yang lebih dari 80.000-setengah dari mereka adalah warga sipil. Ribuan tentara India tewas dan biaya miliaran dolar untuk menjaga tentara di Kashmir. Selalu ada tentara untuk setiap 10 di Lembah Kashmir dan kehidupan sehari-hari bagi warga sipil di Khasmir adalah mimpi buruk. Konflik di Kashmir belum terselesaikan meskipun telah melewati lebih dari enam dekade. Hal ini pula menjadi salah satu pemicu perselisihan India dan Pakistan, memicu perlombaan senjata konvensional dan nuklir dan perekonomi diantara dua negara tersebut. Kedua negara telah berperang tiga kali atas Kashmir dan yang lebih menakutkan, perang antara kedua negara tersebut telah menyulut mereka dalam perlombaan kekuatan senjata nuklir.
Kashmir terus menjadi rebutan antara India dan Pakistan. Masing-masing pihak bersikeras hal itu benar dan lainnya salah. India bersikeras bahwa melalui perjanjian Aksesi, kedudukan Kashmir jatuh ke tangan India adalah final dan mutlak. Oleh karena itu, India menganggap Kashmir adalah bagian integral dari India. Pakistan di sisi lain, menegaskan bahwa Kashmir adalah wilayah yang disengketakan dan Pakistan bersikeras bahwa mereka hanya memberikan dukungan moral dan diplomatik bagi para pejuang Khasmir di dalam perjuangan kemerdekaan pribumi di Kashmir. Sejumlah besar Kashmir tidak percaya bahwa perjanjian Aksesi 1947 adalah final, mereka bersikeras bahwa Kashmir adalah wilayah yang disengketakan dan permintaan penentuan nasib sendiri. Namun hingga saat ini, India tetap teguh pada pendiriannya, tidak akan memberikan hak referendum kepada rakyat Khasmir untuk memilih nasib mereka sendiri, sehingga hal ini telah dan terus menjadi polemik di Khasmir. Pejuang Khasmir telah melakukan segala cara untuk berjuang mendapatkan kemerdekaan dari India, namun India justrus memberikan terror pada masyarakat sipil di Khasmir. Tentu saja hal ini menyulut kebencian masyarakat Khasmir terhadap India. Sehingga terbentuklah kelompok-kelompok dari bagian anggota masyarakat yang turut memperjuangkan kemerdekaan Khasmir melalui aksi terorisme. Mereka melakukan serangan bombardir kepada masyarakat sipil di India. Dengan demikian mereka berharap, sipil di India juga turut merasakan penderitaaan mereka atas pendudukan India di Khasmir. (KhasmirLibrary, 2010)
Mereka melakukan aksi terorisme itu dengan dalih, tentara India dalam pendudukannya di Khasmir telah memberkan terror pada masyarakat Khasmir. Data menunjukkan kebenaran alibi mereka terhadap kebrutalan tentara India terhadap warga sipil di wilayah Khasmir yang diduduki administrasi India. Menurut data yang dikeluarkan oleh Divisi Penelitian Kashmir Media Service pada (24/10/10), lebih dari 4000 orang menjadi objek kekerasan dan kebrutalan tentara India. Mereka juga menangkap dan menahan lebih dari 1.500 orang yang menyerukan kemerdekaan, UU Keselamatan Publik India menjerat lebih dari 300 orang Khasmir dengan tuduhan yang tidak dapat dibuktikan. Laporan juga mengungkapkan bahwa lebih dari 93.504 sipil Muslim Kashmir gugur sejak 1989 akibat kebrutalan tentara pendudukan, 6.976 diantara mereka tewas di dalam penjara.  Pasukan pendudukan juga menganiaya 9.978 perempuan dan merusak 105.884 struktur selama periode tersebut. (Voanews, 2010)

TERROR ATTACK 26/11 2008 AS STRATEGY INSURGENCY
Pada hakikatnya, tindakan terorisme ini dilakukan sebagai strategi menekan psikologi penguasa India. Dengan menebarkan rasa takut dimana-mana dan menghancurkan hati tiap warga India yang merasa kehilangan sanak familinya dalam tragedi tersebut. Hal ini dilakukan karena pejuang kemerdekaan Khasmir ini tidak dapat mengharapkan kemenangan apabila melalui peperangan biasa atau konvensional. Yang mana itu berarti mereka harus melawan kekuatan militer India yang bahkan telah memiliki kekuatan nuklir. Khasmir tidak memiliki tentara resmi, juga tidak memiliki peralatan perang untuk melawan militer pemerintah India.
Alat-alat operasi yang digunakan para teroris di 11/26 sangatlah terbatas. Mereka meledakkan area publik, membunuh siapa saja tanpa pandang bulu, melakukan serangan membabibuta, penculikan, penyanderaan, membajak warga sipil. Meski hanya dengan segelintir militant atau sekelompok kecil orang. Tetapi orang-orang yang memiliki kemampuan yang luar biasa ini sanggup membunuh ratusan orang baik itu warga sipil, polisi, maupun warga asing. Mereka menyerang simbol negara terbesar India yaitu Hotel mewah Taj Mahal. Dimana banyak tamu negara dan orang-orang penting bermalam di situ.
Rakyat Khasmir sendiri bukannya tidak pernah mencoba strategi lain dalam memperjuangkan nasib bangsanya. Para pejuang melakukan perang gerilya, media hingga lewat aksi protes. Mereka memprotes akan ketidakadilan yang mereka alami, lewat demontrasi, perundingan, media dan lain sebagainya. Namun India lebih dapat mematahkan perjuangan mereka dengan mengatakan bahwa sesungguhnya pejuang kemerdekaan Khasmir adalah pemberontak.
India mengklaim secara mutlak bahwa Khasmir adalah milik India kepada pihak Internasional. Sehingga seakan tidak memiliki pengharapan lain, maka strategi yang dianggap efektif dan ampuh untuk perjuangan kemerdekaan Khasmir oleh pejuang Khasmir dengan melakukan penyerangan teror. Strategi ini juga seperti salah satu strategi yang diusung oleh Sir Basil Liddell Hart, yaitu strategi pendekatan tidak langsung. Dan sama halnya dengan perang Gerilya, terorisme juga merupakan sebuah strategi perjuangan yang berlarut-larut dan tidak langsung seperti kebanyakan perang konvensional.
Selanjutnya, selain menyerang sisi psikologis penguasa India, dalam aksi terorisme sebagai strategi insurgensi, para pejuang Khasmir ini sekaligus melakukan aksi propaganda. Para pejuang Khasmir berharap bahwa serangan teror yang mereka lakukan ini dapat membangkitkan semangat juang dan diikuti oleh orang-orang atau kelompok-kelompok lain yang juga menginginkan kemajuan revolusi yang besar di Khasmir.
Selain menyerang psikologi dan melakukan propaganda, dalam strategi insurgensi terorisme ini adalah melakukan intimidasi. Para pejuang Khasmir, dalam aksi terror tersebut telah melakukan intimidasi, tidak saja kepada pemerintahan dan para pekerjanya, namun juga kepada siapa saja yang bekerjasama menentang insurgensi. Salah satu intimidasi yang dilakukan adalah dengan cara menculik warga sipil seperti wartawan dan hakim untuk menuntut apa yang mereka inginkan. Mereka juga melakukan aksinya sebagai salah satu bentuk provokasi kepada pihak lain untuk mencari maupun meningkatkan dukungan dari masyarakat luas dan masyarakat dunia terhadap penderitaan rakyat Khasmir.
 Dan satu lagi yang paling penting pada strategi terorisme adalah provokasi. Provokasi ini bertujuan untuk membangun citra buruk tentang India di mata dunia, bagaimana tentara India (Hindu) telah tega melakukan aksi teror dengan menyiksa, memperkosa, hingga merampas harta dan nyawa rakyat Khasmir (Muslim) di Khasmir pendudukan India. Selain itu pula, provokasi dilakukan pelaku terror untuk meningkatkan dukungan dari masyarakat luas, bahwasanya, mereka melakukan tindakan teror seperti ini karena semata-mata menuntut keadilan atas hak asasi manusia seluruh rakyat Khasmir yang telah dirampas oleh India.     
Meski strategi insurgensi yang dipilih oleh pejuang Khasmir adalah terorisme merupakan suatu tindakan sangat tidak bermoral dan etis karena melibatkan warga sipil yang tidak berdosa. Namun atas aksi propaganda dan provoksai mereka yang gencar pada saat aksi terror tersebut, mereka telah mendapat banyak dukungan dari berbagai pihak baik dalam maupun luar negeri. Tentu saja bukan dukungan terhadap aksi teror tersebut. Melainkan dukungan atas pembebasan Khasmir dari India untuk menjadi negeri yang merdeka.
Hal ini dibuktikan oleh ribuan orang turun ke jalan untuk berunjuk rasa di Khasmir menuntut kemerdekaan Kashmir dari New Delhi. Para pengunjuk rasa mengutuk India dengan menyebut "brutal" dan meneriakkan slogan-slogan anti-India, serta menyerukan kemerdekaan Kashnir dari India dalam demonstrasi yang berlangsung pada hari Rabu  (29/9/2010). Di tempat lain sebuah kerumunan sekitar 2.500 berteriak "Allahu Akbar" dan "Kami ingin kebebasan" di Muzaffarabad, ibukota Pakistan-administrasi Kashmir. Memang telah lama administrasi India-Kashmir telah menjadi tempat gelombang protes yang telah menyebabkan kematian 107 orang, mereka yang tewas rata-rata adalah remaja dan mahasiswa. Di tempat lain kemudian, sekitar 2.000 pengunjuk rasa menggelar demonstrasi di Islamabad, ibukota Pakistan, menuntut India berhenti melakukan "kekejaman" di Kashmir. "India harus menghentikan terorisme di Kashmir yang diduduki agar peristiwa 26/11/2008 tidak terjadi lagi!" tercetak pada spanduk yang dibawa oleh pengunjuk rasa, mengacu pada insiden serangan penembakan dan pemboman di Mumbai, kota terbesar di India, oleh 'teroris' yang menewaskan sedikitnya 173 orang dan melukai setidaknya 308. Dari semua gerakan unjuk rasa yang tidak tahu entah sampai kapan akan berakhir, penduduk Kashmir berusaha mewujudkan kemerdekaan mereka, melawan kekuasaan Delhi di Kashmir yang dikendalikan India. Mereka menginginkan referendum untuk dapat menentukan masa depan Kashmir sendiri.
Dukungan dari luar negeripun banyak berdatangan, salah satunya adalah Inggris. Inggris memaksa India untuk melakukan perundingan dengan Pakistan dalam rangka agar baik Pakistan dan India mau melakukan referendum terhadap semua rakyat Khasmir, apakah mereka mau ikut India? Pakistan? Atau negara sendiri? Namun hingga sekarang, India masih bersikekeh tidak mau melakukan referendum tersebut, karena mereka masih memegang bukti dari Perjanjian Asesi 26 Oktober 1947 sebagai tanda bahwa Khasmir telah resmi milik India.

 KESIMPULAN

Meski terorisme adalah sebuah tindakan anarki tidak bermoral yang siapapun pasti akan setuju akan jenis peperangan ini untuk dilakukan oleh manusia beradab dan beragama. Namun segala tindakan ekspresif terorisme di India dewasa ini adalah sebagai bentuk tindakan untuk mencapai sedikit kesuksesan dalam mencapai tujuan politiknya yaitu kemerdekaan Khasmir.
Walau pada akhirnya tetap saja terorisme ini bukanlah strategi yang efektif dalam mencapai suatu tujuan insurgensi lepas dari India dan menyelesaikan konflik Khasmir secara langsung, karena India tetap pada pendiriannya tidak akan memerdekakan Khasmir, namun hal tersebut cukup membangun sekaligus meningkatkan perhatian mata masyarakat luas maupun masyarakat dunia tentang apa yang diinginkan atau motivasi dibelakang semua itu sehingga akhirnya memunculnya tindakan terorisme yang bertujuan menuntut adanya suatu perubahan politik terhadap suatu kawasan, yaitu kebebasan Khasmir.
Khasmir yang tidak terlindungi hak asasi manusianya telah beraksi dan memberontak melalui para pejuangnya. Lepas dari rasa setuju atas tindakan terorisme yang tidak bermoral tersebut, sudah sepatutnya masyarakat dunia melihat secara jernih bagaimana masalah Khasmir tersebut harus segera dicari solusi pemecahannya. Baik itu melalui jalan perdamaian, referendum, ataupun gencatan senjata. Agar aksi-aksi terorisme di India maupun di Khasmir sendiri tidak akan pernah terulang lagi. Karena kalau sudah begini, bukan kekuasaan, harta, rezim, pemerintahan, negara, kawasan yang hilang, tetapi lebih berharga dari itu semua adalah jiwa, nyawa. Warga sipil adalah korban yang paling menderita dalam hal ini. Rakyat khasmir sudah terlalu lama rindu akan kedamaian dari negerinya yang elok.

No comments:

Post a Comment