Dalam ilmu filsafat terdapat satu
cabang ilmu di dalamnya yaitu ilmu logika. Logika adalah ilmu
yang mempelajari kecakapan untuk berpikir secara lurus, tepat, dan teratur
(Rapar, 1996). Dan pada dasarnya
penalaran dalam logika ada dua, yakni deduktif dan induktif. Penalaran deduktif, yang biasa disebut logika
deduktif adalah sebuah penalaran yang membangun atau mengevaluasi argumen
deduktif. Argumen dinyatakan deduktif jika kebenaran dari kesimpulan ditarik
atau merupakan konsekuensi logis dari premis-premisnya. Argumen deduktif
dinyatakan valid atau tidak valid, bukan benar atau salah. Sebuah argumen
deduktif dinyatakan valid jika dan hanya jika kesimpulannya merupakan
konsekuensi logis dari premis-premisnya. Contoh kalimat deduktif, “Setiap
mamalia punya sebuah jantung”, “Semua kuda adalah mamalia”, “Setiap kuda punya
sebuah jantung”. Sedangkan penalaran induktif, biasa
disebut logika induktif adalah sebuah penalaran yang berangkat dari serangkaian
fakta-fakta khusus untuk mencapai kesimpulan umum. Contoh kalimat induktif,
“Kuda Indonesia punya sebuah jantung”, “Kuda Australia punya sebuah jantung”, “Kuda
Amerika punya sebuah jantung”.
Baik
logika deduktif maupun logika induktif, dalam proses penalarannya,
mempergunakan premis-premis yang berupa pengetahuan yang dianggapnya benar.
Kenyataan ini tentu membawa kita kepada sebuah pernyataan, bagaimanakah caranya
kita mendapatkan pengetahuan yang benar itu? Pada dasarnya terdapat dua cara
yang pokok bagi manusia untuk mendapatkan pengetahuan yang benar. Yang pertama
adalah berdasarkan pada rasio dan yang kedua berdasarkan diri kepada pengalaman. Kaum rasionalis
mengembangkan paham apa yang kita kenal dengan rasionalisme. Sedangkan mereka
yang mendasarkan diri kepada pengalaman mengembangkan paham yang disebut dengan
empirisme. (Soemantri, 2001)
RASIONALISME
Rasionalisme atau gerakan rasionalis adalah sebuah faham atau aliran atau ajaran
atau doktrin filsafat yang menyatakan bahwa kebenaran haruslah ditentukan
melalui pembuktian, logika, dan analisis yang berdasarkan rasio, fakta, ide-ide
yang masuk akal daripada analisis yang melalui iman, dogma, atau ajaran agama. Rasionalisme
mempunyai kemiripan dari segi ideologi dan tujuan dengan humanisme
dan atheisme,
dalam hal bahwa mereka bertujuan untuk menyediakan sebuah wahana bagi diskursus
sosial dan filsafat di luar kepercayaan keagamaan. Meskipun hampir sama, namun
ada perbedaan dengan kedua bentuk tersebut humanisme dan atheisme dengan
rasionalisme.
Humanisme lebih dipusatkan kepada
masyarakat manusia
dan keberhasilannya, sedangkan rasionalisme tidak mengklaim bahwa manusia lebih
penting daripada hewan
atau elemen alamiah
lainnya. Oleh karena itu ada juga rasionalis-rasionalis yang dengan tegas
menentang filosofi humanisme yang antroposentrik. Sedangkan Atheisme
adalah suatu keadaan tanpa kepercayaan akan adanya Tuhan atau dewa-dewa. Rasionalisme
tidak menyatakan pernyataan apapun mengenai adanya dewa-dewi meski ia menolak
kepercayaan apapun yang hanya berdasarkan iman. Meski ada pengaruh atheisme
yang kuat dalam rasionalisme modern, tapi tidak seluruh rasionalis adalah
atheis. (Wikipedia, 2010)
Selain hal tersebut di atas, dan di
luar diskusi keagamaan, rasionalisme dapat diterapkan secara lebih umum,
misalnya kepada masalah-masalah politik atau sosial. Dalam kasus-kasus seperti ini, yang
menjadi ciri-ciri penting dari perpektif para rasionalis adalah penolakan terhadap
perasaan
(emosi), adat-istiadat atau
kepercayaan yang sedang populer.
Rasionalisme ini sendiri berlangsung sejak
zaman pertengahan abad ke XVII sampai akhir abad ke XVIII. Pada zaman ini hal
yang khas bagi ilmu pengetahuan adalah penggunaan yang eksklusif daya akal budi
(ratio) untuk menemukan kebenaran. Ternyata, penggunaan akal budi yang demikian
tidak sia-sia, melihat tambahan ilmu pengetahuan yang besar sekali akibat
perkembangan yang pesat dari ilmu-ilmu alam. Maka tidak mengherankan bahwa pada
abad-abad berikutnya, orang-orang yang terpelajar makin percaya pada akal budi
mereka sebagai sumber kebenaran tentang hidup dan dunia.
Hal ini menjadi sangat terlihat lagi
pada abad ke XVII dan lebih lagi selama abad XVIII, yaitu antara lain karena
adanya pandangan baru terhadap dunia yang diberikan oleh Isaac Newton (1643
-1727). Berkat sarjana geniaal Fisika Inggris ini, Fisika menurutnya terdiri
dari bagian-bagian kecil (atom) yang berhubungan satu sama lain menurut hukum
sebab akibat. Semua gejala alam harus diterangkan menurut jalan mekanis ini.
Harus diakui bahwa Newton sendiri memiliki suatu pemahaman yang mendalam
tentang batas akal budi dalam mengejar kebenaran melalui ilmu pengetahuan. Sebelumnya
orang-orang hanya hidup berdasarkan kepercayaan yang makin kuat saja dan dalam
kekuasaan akal budi yang membelenggu, sehingga membuat orang-orang yang hidup
pada abad sebelum lahirnya rasionalisme dapat dipandang sebagai manusia yang
hidup dalam kegelapan. Baru dalam abad XVIII, saat mereka telah berhasil
menaikkan obor terang yang menciptakan manusia dan masyarakat modern yang telah
dirindukan disebut juga sebagai zaman
Aufklarung (pencerahan).
Pada pertengahan abad ke-20,
ada tradisi kuat rasionalisme yang terencana, yang dipengaruhi secara besar
oleh para pemikir bebas dan kaum intelektual. Kaum rasionalis
mempergunakan metode deduktif dalam menyusun pengetahuannya. Premis yang
dipakai dalam penalarannya didapatkan dari ide yang menurut anggapannya jelas
dan dapat diterima. Ide ini menurut mereka bukanlah ciptaan pikiran manusia.
Prinsip itu sendiri sudah ada jauh sebelum manusia berusaha memikirkannya.
Paham ini dikenal dengan nama idealisme. Fungsi pikiran manusia hanyalah
mengenali pikiran tersebut yang lalu menjadi pengetahuannya. Prinsip itu
sendiri sudah ada dan bersifat apriori dan dapat diketahui oleh manusia lewat
kemampuan berpikir rasionalnya. Pengalaman tidaklah membuahkan prinsip dan
justru sebaliknya, hanya dengan mengetahui prinsip yang didapat lewat penalaran
rasional itulah maka kita dapat mengerti kejadian-kejadian yang berlaku dalam
alam sekitar kita. Secara singkat dapat dikatakan bahwa ide bagi kaum
rasionalis adalah bersifat apriori dan prapengalaman yang didapatkan manusia
lewat penalaran rasional.
Masalah utama yang timbul dari cara
berpikir ini adalah mengenai kriteria untuk mengetahui akan kebenaran dari
suatu ide yang menurut seseorang adalah jelas dan dapat dipercaya. Ide yang
satu bagi si A mungkin bersifat jelas dan dapat dipercaya namun hal itu belum
tentu bagi si B. mungkin saja bagi si B menyusun system pengetahuan yang sama
sekali dengan sistem pengetahuan si A karena si B mempergunakan ide lain yang
bagi si B merupakan prinsip yang jelas dan dapat dipercaya. Jadi masalah utama
yang dihadapi kaum rasionalis adalah evakuasi dari kebenaran premis-premis yang
dipakainya dalam penalaran deduktif. Karena premis-premis ini semuanya
bersumber pada penalaran rasional yang bersifat abstrak dan terbebas dari
pengalaman maka evaluasi semacam ini tak dapat dilakukan. Oleh sebab itu maka
lewat penalaran rasional akan didapatkan bermacam-macam pengetahuan mengenai
satu obyek tertentu tanpa adanya suatu konsensus yang dapat diterima oleh semua
pihak. Dalam hal ini maka pemikiran rasional cenderung untuk bersifat solipsistik
dan subyektif. (Soemantri, 2001)
Tokoh-tokohnya
penggagas rasionalisme adalah :
1. Rene
Descartes (1596 -1650)
2. Nicholas
Malerbranche (1638 -1775)
3. B.
De Spinoza (1632 -1677 M)
4. G.W.Leibniz (1946-1716)
5. Christian Wolff (1679 -1754)
6. Blaise
Pascal (1623 -1662 M)
(kuliah filsafat, 2009
[online])
EMPIRISME
Empirisme
adalah suatu aliran dalam filsafat yang menyatakan bahwa semua pengetahuan
berasal dari pengalaman manusia. Empirisme menolak anggapan bahwa manusia telah
membawa fitrah pengetahuan dalam dirinya ketika dilahirkan. Empirisme lahir di Inggris dengan
tiga eksponennya adalah David Hume, George
Berkeley dan John Locke. (Wikipedia, 2011)
Empirisme berasal dari kata Yunani
yaitu "empiris" yang berarti pengalaman inderawi. Oleh karena itu
empirisme dapat dikatakan sebagai faham yang memilih pengalaman sebagai sumber
utama pengenalan. Dan yang dimaksudkan dengan pengalaman adalah baik pengalaman
lahiriyah yang menyangkut dunia maupun pengalaman batiniyah yang menyangkut
pribadi manusia.
Pada dasarnya Empirisme sangat
bertentangan dengan Rasionalisme. Rasionalisme mengatakan bahwa pengenalan yang
sejati berasal dari rasio, sehingga pengenalan inderawi merupakan suatu bentuk
pengenalan yang kabur. Sebaliknya Empirisme berpendapat bahwa pengenalan
berasal dari pengalaman sehingga pengenalan inderawi merupakan pengenalan yang
paling jelas dan sempurna.
Kaum yang
beraliran Empirisme biasanya berpendirian bahwa pengetahuan didapat melalui
penampungan yang secara pasif menerima hasil-hasil penginderaan tersebut. Ini
berarti semua pengetahuan betapapun rumitnya dapat dilacak kembali dan apa yang
tidak dapat dilacak kebenarannya bukanlah ilmu pengetahuan. Pengetahuan
manusia itu bukan didapatkan lewat penalaran rasional yang abstrak namun lewat
pengalaman yang kongkret.
Gejala-gejala alamiah menurut
anggapan kaum empiris adalah bersifat kongkret dan dapat dinyatakan lewat
tangkapan pancaindera manusia. Gejala itu kalau kita telaah lebih lanjut
mempunyai beberapa karakteristik tertentu umpamanya saja terdapat pola yang
teratur mengenai suatu kejadian tertentu. Suatu benda padat kalau dipanaskan
akan memanjang. Langit mendung diikuti dengan turunnya hujan. Demikian
seterusnya di mana pengamatan kita akan membuahkan pengetahuan mengenai
berbagai gejala yang mengikuti pola-pola tertentu. Di samping itu kita melihat
adanya karakteristik lain yakni adanya kesamaan dan pengulangan umpamanya saja
bermacam-macam logam kalau kita panaskan akan memanjang. Hal ini memungkinkan
kita untuk melakukan sesuatu generalisasi dari berbagai kasus yang telah
terjadi. Dengan mempergunakan metode induktif maka dapat disusun pengetahuan
yang berlaku secara umum lewat pengamatan terhadap gejala-gejala fisik yang
bersifat individual.
Selain kaum
Empirisme, ada juga kaum yang disebut kaum Empirisme radikal, yaitu kaum yang
berpendirian kuat bahwasanya semua pengetahuan dapat dilacak sampai kepada
pengalaman inderawi dan apa yang tidak dapat dilacak bukan pengetahuan. Lebih
lanjut penganut Empirisme mengatakan bahwa pengalaman tidak lain akibat suatu
objek yang merangsang alat-alat inderawi, kemudian di dalam otak dipahami dan
akibat dari rangsangan tersebut dibentuklah tanggapan-tanggapan mengenai objek
yang telah merangsang alat-alat inderawi tersebut. Empirisme memegang peranan
yang amat penting bagi pengetahuan, malah barangkali merupakan satu-satunya
sumber dan dasar ilmu pengetahuan menurut penganut Empirisme. Pengalaman
inderawi sering dianggap sebagai pengadilan yang tertinggi.
Masalah utama yang timbul dalam
penyusunan pengetahuan secara empiris ini ialah bahwa pengetahuan yang
dikumpulkan itu cenderung untuk menjadi suatu kumpulan fakta-fakta. Kumpulan
tersebut belum tentu bersifat konsisten dan mungkin saja terdapat hal-hal yang
bersifat kontradiktif. Suatu kumpulan mengenai fakta, atau kaitan antara
berbagai fakta, belum menjamin terwujudnya suatu sistem pengetahuan yang
sistematis; kecuali kalau dia hanya “seorang kolektor barang-barang serbaneka”.
Lebih jauh Einstein mengingatkan bahwa tak terdapat metode induktif yang
memungkinkan berkembangnya konsep dasar suatu ilmu.
Kaum empiris menganggap bahwa dunia
fisik adalah nyata karena merupakan gejala yang tertangkap oleh pancaindera.
Hal ini membawa kita pada dua masalah. Pertama, sekiranya kita mengetahui dua
fakta yang nyata, umpamanya rambut keriting dan inteligensi manusia, bagaimana
kita merasa pasti mengenai kaitan antara kedua fakta tersebut? Apakah rambut
keriting dan inteligensi manusia mempunyai kaitan satu sama lain dalam hubungan
kausalitas? Sekiranya kita mengatakan tidak, bagaimana sekiranya penalaran
induktif membuktikan sebaliknya?
Pertanyaan tersebut mengingatkan
kita bahwa hubungan antara berbagai fakta tidaklah nyata sebagaimana yang kita
sangka. Harus terdapat suatu kerangka pemikiran yang member latar belakang
mengapa X mempunyai hubungan dengan Y, sebab kalau tidak, maka pada hakekatnya
semua fakta dalam dunia fisik bisa saja dihubungkan dalam kaitan kausalitas.
Masalah yang kedua adalah mengenai
hakikat pengalaman yang merupakan cara dalam menemukan pengetahuan dan
pancaindera sebagai alat yang menangkapnya. Pertanyaannya adalah apakah yang
sebenarnya dinamakan pengalaman? Apakah hal ini merupakan stimulus pancaindera?
Ataukah persepsi? Ataukah sensasi? Sekiranya kita mendasarkan diri kepada
pancaindera sebagai alat dalam menangkap gejala fisik yang nyata maka seberapa
jauh kita dapat mengandalkan pancaindera tersebut?
Ternyata kaum empiris tidak bisa
memberikan jawaban yang meyakinkan mengenai hakikat pengalaman itu sendiri.
Sedangkan mengenai kekurangan pancaindera manusia ini bukan merupakan sesuatu
yang baru bagi kita. Pancaindera manusia sangat terbatas kemampuannya dan
terlebih penting lagi pancaindera manusia bisa melakukan kesalahan. Contoh yang
biasa kita lihat sehari-hari ialah bagaimana tongkat lurus yang sebagian
terendam di dalam air akan kelihatan bengkok. Haruslah kita mempercayai hal
semacam ini sebagai dasar untuk menyusun pengetahuan? (Soemantri, 2001)
Tokoh-tokoh penggagas Empirisme adalah:
1. Francis Bacon
(1210 -1292)
2.
Thomas Hobbes ( 1588 -1679)
3.
John Locke ( 1632 -1704)
4.
George Berkeley ( 1665 -1753)
5.
David Hume ( 1711 -1776)
6.
Roger Bacon ( 1214 -1294)
(Kuliah
Filsafat, 2009 [online])
KESIMPULAN
Pada hakikatnya ilmu filsafat adalah
ilmu yang mengkritisi bagaimana sebuah pengetahuan dapat dipertanggungjawabkan
kebenaran dan kelurusannya berdasarkan ilmu logika. Ilmu logika sendiri adalah ilmu
yang mempelajari kecakapan untuk berpikir secara lurus, tepat, dan teratur. Dan
dalam memperoleh kebenaran dan kelurusan dari pengetahuan tersebut dapat
menggunakan rasio dan empiris.
Rasio
adalah sumber pengetahuan dari analisis pikiran rasionalisme atau gerakan rasionalis. Rasionalisme sendiri adalah sebuah faham atau
aliran atau ajaran atau doktrin dalam filsafat yang menyatakan bahwa kebenaran
haruslah ditentukan melalui pembuktian, logika, dan analisis yang berdasarkan rasio,
fakta, ide-ide yang masuk akal daripada analisis yang hanya berdasarkan
kepercayaan seperti iman,
dogma,
atau ajaran agama.
Sedangkan empiris adalah sumber
pengetahuan yang berdasarkan analisis empirisme. Empirisme sendiri adalah suatu
faham atau aliran dalam filsafat yang menyatakan bahwa kebenaran haruslah ditentukan
melalui pembuktian dari pengalaman dan panca indera manusia. Sehingga
apabila kebenaran dari pengetahuan tersebut tidak berasal dari pengalaman dan
daya tangkap panca indera manusia maka tidak dapat dikatakan pengetahuan yang
benar.
Sehingga
dapat disimpulkan, tidak ada satupun yang salah dari dua sumber dalam mencari
kebenaran dari sebuah pengetahuan, baik melalui rasio maupun melalui empiris. Justru
sebuah pengetahuan yang shahih akan lebih dapat diterima masyarakat luat
terutama oleh penerima pengetahuan dari si pemberi pengetahuan apabila
pengetahuan tersebut telah memiliki sumber dari rasio yang tinggi serta ide-ide
yang masuk akal dan yang terlebih telah dibuktikan lagi kebenaran pengetahuan
tersebut melalui empiris atau pengalaman maupun observasi.
No comments:
Post a Comment